Imam Besar Masjid Al Hikmah, New York, bukanlah pria yang berasal dari
jazirah Arab melainkan dia adalah seorang lelaki Bugis-Konjo dari Kajang,
Bulukumba, Sulsel. Dialah DR. Shamsi Ali yang lahir di desa terpencil, Kajang, 5
Oktober 1967.
Ia menjadi imam besar di pusat kebudayaan islam New York. Imam
Ali sangat dikenal di komunitas Islam Amerika. Demi perdamaian kerukunan agama,
Imam Ali tak ragu untuk ceramah di Gereja dan lembaga agama lainnya di New
York. 
Dalam beberapa
kesempatan setiap pulang kampung baik di Makassar maupun di Bulukumba, Shamsi
kerap bercerita tentang pengalamannya berdiskusi soal agama dengan mantan
Presiden AS George Bush dan Presiden AS Barrack Obama. Imam Shamsi, sebagaimana
biasa dipanggil, adalah satu dari tujuh tokoh agama yang paling berpengaruh di
kota dunia, New York.
Dalam kapasitasnya
sebagai tokoh Muslim yang didengar, Shamsi Ali memimiliki hubungan dekat dengan
para petinggi kota, termasuk Michel Bloomberg, Walikota New York, yang
billioner. Dia juga menjadi pelatih budaya Islam di kepolisian New York, pertama
dalam sejarah kota New York. Bahkan Shamsi Ali adalah Muslim pertama yang
tampil membacakan doa dalam salah satu acara pembukaan sidang DPRD kota New York beberapa waktu lalu.
Shamsi pernah menimba
ilmu agama Islam di Pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam”, Gombara Makassar. Pemuda kelahiran Kajang, Bulukumba, itu adalah anak petani yang tumbuh
laiknya anak kampung kebanyakan. Shamsi dilahirkan di kalangan
petani.Kedua orangtuanya minus pendidikan memadai.
"Saya lahir di
Kajang. Ayah saya petani biasa.Bahasa Indonesia saja tidak bisa.Saya suka
berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung
dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini,"
katanya.
Karena bingung dengan
sikap kenakalan Shamsi, petani Kajang itu memutuskan “memenjarakan” anaknya di
Pesantren Gombara, Makassar.
Kebetulan kakaknya
ketika itu sedang menempuh pendidikan di
Makassar. Dari informasi kakaknya itu, orangtua Shamsi memutuskan agar dia
masuk di pesantren yang menurut istilah sebagian orang sebagai "penjara
suci".
Bakat berkelahi yang
masih melekat pada Shamsi kini mendapat saluran yang positif.Ia kemudian
mengikuti latihan pencak silat Tapak Suci. Bakat inilah yang membawanya menjadi
juara 2 nasional pada kejuaraan pencak silat antar perguruan tinggi di bandung
tahun 1995.
Berawal dari hobi
"berkelahi" di Tapak Suci ini ia kelak mendapat gelar Doktor HC di
Unisba. Setelah menyelesaikan studi di Pondok Pesantren Darum Arqam Gombara,
Makassar, Shamsi Ali mengabdi di pesantren untuk mengajar beberapa bulan.
Ia ingin sekali kuliah
tetapi keadaan finansial keluarga tidak mendukung. "Bingung mau masuk
universitas tidak ada duit. Akhirnya ngabdi di pesantren dengan
seikhlasnya," kenang Shamsi.
Beberapa bulan
kemudian, Shamsi ditawari pimpinan pondok pesantren belajar ke Pakistan. Ia pun
melanjutkan studi di International Islamic University. Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, dia menjadi muazzin (tukang adzan) di Masjid Faisal, masjid
terbesar di Islamabad.
Jenjang S1 dalam
bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992. Ia kemudian melanjutkan dan
menyelesaikan pendidikan jenjang S2 di universitas yang sama tamat tahun 1994,
dengan memilih bidang Perbandingan Agama.
Hingga akhirnya ada
tawaran mengajar di Jeddah, Arab Saudi, yang langsung disetujuinya.Di Jeddah
ini, Shamsi sering memberikan ceramah manasik haji di KJRI Jeddah.
Pada saat ceramah
manasik haji, Shamsi bertemu dengan Wakil Tetap RI untuk PBB New York, Nugroho
Wisnumurti.Nugroho mengundang Shamsi untuk memimpin masjid Indonesia yang
sekarang bernama Masjid Al Hikmah di New York, sembari menjadi staf Perutusan
Tetap Republik Indonesia (PTRI).
Sebelumnya ia memang
mempunyai keinginan melanjutkan pendidikan ke luar negeri yakni antara di
Inggris atau Amerika. Sehingga pada saat ditawari ke Amerika ia pun setuju.
"Pertama kali tiba di Amerika Serikat saya khawatir," tambahnya.
Menurutnya, ia berada
di sebuah negara yang bebas segala rupa. Hal ini berbeda saat masih di Jeddah
yang serba tertutup.
Namun kekhawatiran itu
berubah saat bertemu dengan orang yang lebih beragam.Dia pun bergaul dengan
orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda. Bahkan
ini pula yang mengantarkannya menjadi pionir dialog antar agama di kota New
York, yang di kemudian hari mendapat pengakuan dari pemerintah AS.
Tetangga dari latar
belakang agama yang berbeda mulai dari Protestan, Katolik, Sikh, dan Hindu
menjadikannya membuka mata bahwa berbeda keyakinan tidak harus menjadikan
manusia bermusuhan. Ia misalnya memiliki sepasang tetangga beragama Katolik,
setiap pagi ia membersihkan taman depan rumah dan selalu menyapa Shamsi dan
istrinya dengan ramah sambil mengatakan, "Hai good morning".
Mereka tahu kami Islam
karena istri saya pakai jilbab tapi mereka sangat ramah. Dari beliau saya
belejar bahwa meski boleh jadi ada yang berbeda secara fundamental, namun ada
sisi positif dari semua orang sehingga bisa terbangun kerja sama antar orang
yang beragam itu.
Black September
Saat peristiwa
penyerangan World Trade Center (WTC) 11 September, Shamsi mengaku sedang berada
dalam kereta. "Orang menyangka ada kebakaran. Kita nonton TV, gedung
kembar ditabrak," kenangnya.
Namun menurut Shamsi,
reaksi media saat itu, yang pertama kali ditayangkan CNN menampilkan orang
Palestina yang bergembira dan berdansa.
Pada saat itu ia
mengetahui bahwa peristiwa itu sangat berat apalagi pada saat perjalanan di
kereta tersebut ia banyak mendengar orang-orang mencaci-maki Islam. Tetangga
yang sangat diakrabinya datang ke rumah Shamsi dan menangis lalu mengatakan
bahwa ia tidak percaya bahwa Islam seperti yang dikatakan oleh banyak orang.
Hal itu karena ia menemui hal yang kontras dengan perilaku orang Islam
sesungguhnya.
Menurutnya, setelah
penyerangan 11 September itu, suasana AS selama 1 sampai 2 pekan sangat
mencekam.Bahkan beberapa pengurus Masjid Al Hikmah New York berencana menutup
masjid.
“Tapi saya katakan No
Way. Kenapa harus ditutup?," katanya. Kalau ditutup itu sama saja
membenarkan anggapan orang bahwa kita orang Islam mengakui kesalahan kolektif
karena prilaku segelintir orang. Alhamdulilah, masjid-masjid kemudian tidak
jadi ditutup.
Beberapa saat setelah
peristiwa ituia ditelepon untuk menghadiri sebuah konferensi pers Interfaith.
Interfaith tidak lain adalah upaya membangun komunikasi untuk saling memahami
sehingga terjadi kerjasama dalam kepentingan yang disepakati dan saling
menghormati dalam hal-hal yang tidak disepakati. "Saya datang dengan biasa
saja. Empat tahun di Amerika, bahasa Inggris saya masih belepotan. Saya
serahkan semuanya kepada Allah," ujarnya.
Shamsi menggambarkan
bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia. Islam tak
membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua
manusia.Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar hendaknya kebencian kita
terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
Tak lama setelah
kejadian itu, Shamsi diundang menghadiri sebuah perhelatan akbar di kota New
York yang disebut: A Prayer for America. Sebuah kehormatan besar bagi Shamsi
Ali dan bagi umat Islam di seluruh dunia ketika Shamsi Ali diundang mewakili
Islam Amerika dalam acara Doa untuk Amerika.
Sebuah acara doa dan
perenungan AS atas Tragedi Bom WTC dan Pentagon 11 September 2004 yang diikuti
pemuka Protestan, Katolik, Sikh, Hindu, dan Islam lainnya di stadion terkenal olah
raga baseball Yankee Stadium, The Bronx, New York, 23 September 2004.
Ia satu panggung
dengan mantan Presiden Amerika Serikat, senator Hillary Clinton, Wali Kota New
York Rudolph Giuliani, Gubernur New York Robert Pataki, Oprah Winfrey, sejumlah
selibritis dunia pada acara yang dihadiri sekitar 50.000 orang di stadion yang
lokasinya ttidak terlalu jauh dari reruntuhan gedung kembar 110 tingkat World
Trade Center (WTC).
Ketika itu, Shamsi Ali
muncul di mimbar A Prayer for America di Stadion Yankee, New York City.Ia
mengenakan pakaian sederhana tanpa sorban putih atau jenggot panjang.Ia hanya
mengenakan baju koko dan juga peci Indonesia.Dia menyebut
Bismillahirahmanirrahim dari bibirnya.Lalu, puluhan ribu publik AS mendengar
syahdunya kalimat-kalimat Allah dibacakan Shamsi di luar kepala.
Tidak ada suara,
kecuali alunan merdu suara Syamsi.Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar
hendaknya kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
Pada kesempatan
itulah, Shamsi Ali berjabat tangan dan berpesan kepada pemerintah George Walker
Bush. Pertama ia ucapkan belasungkawa kepada Bush dan orang Amerika dan
mengutuk apapun bentuknya peristiwa itu.
Shamsi berpesan kepada
pemerintah George Walker Bush dan pengambil keputusan AS agar janganlah kiranya
karena kebencian yang tertanam, bukan keadilan yang dijunjung, melainkan
pembalasan dendam semata.
"Pak Presiden,
saya ingin menyampaikan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan kepercayaan dan komunitas
saya. Jadi maukah Anda memberikan pernyataan pada publik bahwa serangan teroris
itu tidak ada kaitannya dengan Islam/Muslim?". Itulah ucapan Shamsi Ali
kepada Presiden AS saat itu, George Bush. Kata-kata itu mengalir dari bibir
Shamsi Ali, dai asal Indonesia.
Shamsi mengucapkan
kalimat itu lantaran Islam disorot tajam. Padahal Shamsi yakin agama mana pun,
termasuk Islam, tidak mengajarkan teror. Kepada rakyat Amerika, Bush
menyampaikan pesan yang disampaikan Shamsi.
Saat tampil di mimbar,
ia diberi pilihan antara ceramah dan berdoa. Ia kemudian memilih membaca Al
Quran untuk menyampaikan bahwa Islam itu agama yang universal, idza jaa-a
Nassarullah.
“Kutukan” orangtua
Shamsi mumpuni. Ia kini menjadi sinar Islam di Amerika. "Terkadang kita
pintar mengatur, tapi ternyata ada yang lebih berkuasa mengatur hidup
hamba-hambaNya, Allah SWT. Serahkanlah ke yang Maha Mengatur. Jalani hidup lebih
baik," kata Shamsi. (*)
0 komentar:
Posting Komentar