Novel karyanya yang ditulis dalam bahasa
Makassar: “Karruq Ri Bantilang
Phinisi” atau “Tangisan di Gubuk Phinisi” pada tahun 2011 tiba-tiba menyentak jagad sastra Indonesia.
Novel itu mencuri banyak perhatian dari kalangan penikmat sastra dan pemerhati
budaya khususnya di Sulawesi Selatan.

Dorongan dan
bantuan beberapa literatur kuno dari kakek neneknya Puang Basiraq Daeng Basiq
dan Balaq Nojeng Daeng Matiqnoq serta naskah-naskah keluarga lainnya yang
semuanya telah tak ada lagi karena hancur, menambah keyakinan akan kemampuannya
mengolah bahasa daerah menjadi karya sastra.
Drs.
Muhannis Ara Daeng Lawaq lahir di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari pada 5 Juni
1959. Putra dari pasangan Maggauq Daeng Gau dan Jaenong Daeng Sinnong. Mulai
menyukai dan belajar sastra daerah sejak kecil. Ia tertarik dengan keindahan
bahasa tetua di kampungnya yang dia kira sama dengan puisi yang diajarkan oleh
guru di sekolah, cuma berbeda bahasa.
Atas
kecintaannya pada naskah kuno, Balai Arsip Nasional Makassar pernah memberikan
Piagam Penghargaan pada dedikasinya menyelamatkan naskah-naskah kuno. Untuk
penciptaan karya sastra, karyanya selalu ditampilkan pada berbagai even dan
pertunjukan. Di bidang lomba, menjadi juara lomba cipta puisi daerah se-Sulsel
di UNHAS tiga tahun berturut-turut (2005, 2006 dan 2007). Karya-karya seni
lainnya pernah dipentaskan di tingkat desa sampai internasional.
Muhannis Ara
menjadi asset penting bagi gerakan pelestarian bahasa daerah di Sulsel khusunya
Bugis Makassar setelah kita kehilangan Muhammad Salim, penerjemah dan penafsir
Sureq Galigo, kitab sastra epik Bugis Kuno yang diakui sebagai salah satu karya
sastra terpanjang di dunia, maka praktis tokoh dari kalangan generasi tua yang
bisa menerjemahkan dan menafsirkan La Galigo tidak ada lagi. Jangankan Sureq
Galigo, Lontaraq pun terancam kehilangan generasi. Nama-nama lainnya seperti
Djirong Basang Daeng Ngewa yang dahulunya aktif menulis buku pelajaran Bahasa
Makassar juga kehilangan penerus.
Bahasa Daerah
Makassar dan Bugis yang di sekolah SD dan SMP dijadikan muatan lokal diajarkan
tanpa gairah, itupun terbatas hanya ada dalam ruangan kelas selama sejam. Anak-anak
lebih memilih Bahasa Indonesia dalam pergaulan kesehariannya, baik di sekolah
maupun di rumah. Sementara di Perguruan Tinggi, jurusan Bahasa dan Bahasa
Daerah setiap tahun semakin turun peminatnya. Lontaraq yang dahulunya banyak
disimpan di rumah-rumah penduduk, kini semakin kurang diperhatikan bahkan
dimakan rayap dan lapuk dimakan usia sebelum diinventarisasi dan dimasukkan
dalam Museum. Naskah Lontaraq dari masa lalu boleh jadi nantinya hanya
ditemukan fisiknya di museum, tanpa ada lagi yang bisa menuliskannya. Begitu
pula bahasa daerah aslinya, terancam ditinggalkan, dilupakan dan terlupakan
oleh generasinya.
Muhannis
Ara menjadi salah satu harapan besar setelah kita sulit lagi menemukan sosok
seperti Muhammad Salim dan Djirong Basang Daeng Ngewa. Beliau berdua orang yang
konsisten dalam bidang penulisan dan penerjemahan Bahasa dan Sastra Daerah.
Karya yang sudah lahir dari tangan Muhammad Salim adalah transliterasi dan
terjemahan 12 jilid Sureq Galigo karya Arung Pancana Toa, Lontaraq Sidenreng,
Lontarak Soppeng/Luwu, Budhistihara, Pappaseng, dan Lontarak Enrekang.
Sementara Djirong Basang Ngewa adalah penulis buku-buku Pelajaran Bahasa Daerah
Makassar (Pappilajarang Basa Mangkasarak) yang sangat produktif. Sebagian besar
bukunya dijadikan Panduan dalam pengajaran muatan lokal untuk Tingkat SD dan
SMP di Sulawesi Selatan.
Muhannis
mengungkapkan, penyebab sepinya peminat Bahasa dan Sastra Daerah, dari tingkat
SD, SMP dan Perguruan Tinggi dan bahkan untuk SMA karena tidak diajarkan lagi
semakin membuat Lontaraq dan Bahasa Daerah Bugis Makassar terancam dilupakan
dan terlupakan. Bahasa ibu ini semakin terpinggirkan ditengah menjamurnya
bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja dan mahasiswa akibat pengaruh
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Kalaupun masih ada yang
menggunakan Bahasa Daerah dalam pergaulan hidupnya maka sesungguhnya itu banyak
diantaranya tidak asli lagi, sudah bercampur dan dipengaruhi Bahasa Melayu ataupun
Bahasa Indonesia.
“Akhirnya,
menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Ancaman punahnya Bahasa Daerah Bugis
dan Makassar bukan hanya terjadi di Sulawesi Selatan, tapi juga menjadi ancaman
bagi semua bahasa etnis di Nusantara,” kata Muhannis.
Kekhawatiran
budayawan ini sanggat beralasan sebab hal ini bukan hanya menyangkut bahasa dan
aksara, tetapi juga menyangkut banyaknya kearifan local (local wisdom) yang
terkandung dalam bahasa dan aksara itu, sebuah kearifan yang melahirkan begitu
banyak peradaban indah dan menakjubkan di wilayah Nusantara ini. Bahasa, Sastra
dan Kebudayaan Daerah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan
masyarakat. Peran serta semua pihak dibutuhkan untuk menyelamatkan aset
kultural bangsa ini. Mari membicarakannya, semoga saja kita masih sempat
melestarikannya.
Suami dari Dra. Suhaebah dan ayah dari
Alif Ilhamsyah, saat ini menjabat sebagai Kepala SMAN 1 Sinjai Timur Kabupaten
Sinjai. Dengan segala ketekunannya menulis berbagai artikel budaya dan karya
seni serta mendalami kehidupan tradisional di Sulawesi Selatan berbuah
penghargaan sebagai penerima Celebes Award Bidang Kebudayaan dari Gubernur
Sulawesi Selatan pada tahun 2005.
Menyelesaikan
pendidikan formalnya dimulai di SD 161 dan 164 Ara
dan tamat 1972. SMPN 1 Bulukumba 1975. Masuk kelas 1 di SMAN 1 Bulukumba, kelas
2 di SMAN 1 Abepura Jayapura dan tamat di SMAN Bantaeng 1979. Kuliah S1 di IKIP
Makassar Jurusan Bahasa Jerman dan selesai 1985.
Pada 2003
mendapat Stipendium atau beasiswa dari Pemerintah Republik Federal Jerman untuk
mengikuti Deutsefortbildungskurs di Goethe Institut Munchen Jerman. Pada 1-30
Agustus 2011 kembali diundang ke Jerman untuk mengikuti seminar kebahasaaan dan
metodik serta Landeskunde di Universitas Gottingen.
Muhannis
dikukuhkan oleh Goethe Institut Jakarta sebagai Instruktur Bahasa Jerman di
Indonesia sampai sekarang. Sekaligus sebagai Ketua Ikatan Guru Bahasa Jerman
Indonesia (IGBJI) Cabang Bawakaraeng Sulawesi Selatan serta beberapa organisasi
lainnya. Hingga kini, Muhannis tetap gemar menulis puisi dalam bahasa daerah
dan bahasa Jerman.
Muhannis Ara dari Desa Ara rupanya
telah dilahirkan untuk menjadi sesosok cinta dan identitas etnik yang dalam
keseharian kita justru kadang terlupakan.
Muhannis mengisahkan, dia dan dua rekannya, Sakkaruddin dan
Demmanyimba, ‘menggeledah’ kampung, menelusuri dan mencari naskah-naskah kuno
yang masih tersisa. Hasilnya, kata dia, terkumpullah lebih dari 100 naskah kuno
Ara yang sempat diselamatkan yang sebagian menjadi bahan penulisan novel
“Karruq ri Bantilang Pinisi”.
“Untuk menyelamatkan naskah itu, saya
kemudian mengundang Balai Arsip Nasional ke Ara dan membuat micro film seluruh
naskah temuan kami beberapa tahun lalu. Dr. Mukhlis Paeni memimpin langsung
penyelamatan itu. Bersama tim, dia bahkan harus datang ke Ara dua kali untuk
menyelesaikan tugas penyelamatan itu. Dan kami yakin masih banyak naskah yang
belum ditemukan,” kata Muhannis.
Muhannis menilai,
bahasa Makassar jika diolah dengan baik akan menjadi ikon yang sangat bagus bagi
perkembangan budaya.
“Tentang sisi
finansial, ini juga menjadi pertanyaan banyak orang. Saya hanya menulis sesuai
imajinasi dan ingin mengisi kekosongan karya sastra yang menggunakan bahasa
Makassar secara keseluruhan,” ungkapnya.
Pada tahun 2013,
Muhannis juga menulis beberapa lagu berlirik Bahasa Konjo. Salah satu di
antaranya diberi judul “Maliang Ri Ara”
yang dinyanyikan oleh penyanyi Ulho. (*)
Innalillahi wainnailaihi rojiun, Alfatiha Drs. Muhannis
BalasHapus