Meriam Peninggalan
Portugis dan Ranjau Laut Buatan Rusia
Tiga buah meriam peninggalan Portugis dan sebuah ranjau
laut buatan Rusia senantiasa menjadi magnet tersendiri bagi para pengunjung Pantai Pasir Putih Lemo-Lemo.. Salah satu
meriam dan ranjau laut tersebut kini masih dapat disaksikan di halaman rumah salah
seorang warga bernama Karaeng Te’ne.
Meriam dan ranjau laut itu sengaja dipajang secara permanen dengan cara mengecornya
di atas sebuah tatakan kotak persegi panjang.
Karaeng Te’ne adalah saudara sepupu dari Karaeng Radjamuda, seorang ambtenaar dan pejabat distrik setempat pada masa kolonial Belanda. Perempuan kelahiran tahun 1943 ini menuturkan bahwa ada tiga meriam yang dulunya masing-masing berada di kawasan Butung Keke, Panorakkang dan Pintuang. Ketiga tempat itu berdasarkan pembagian wilayah Lemo-Lemo pada masa lalu. Di Butung Keke yang terletak di wilayah pantai itulah terdapat meriam peninggalan Portugis yang moncongnya menghadap ke laut. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dan pemerintah setempat pada tahun 1980-an meriam tersebut dipindahkan ke halaman rumah Karaeng Te’ne. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya pelestarian benda bersejarah tersebut. Sedangkan dua meriam lainnya yang berada di Panorakkkang dan Pintuang kini diamankan di rumah warga di Tanah Beru.
Karaeng Te’ne adalah saudara sepupu dari Karaeng Radjamuda, seorang ambtenaar dan pejabat distrik setempat pada masa kolonial Belanda. Perempuan kelahiran tahun 1943 ini menuturkan bahwa ada tiga meriam yang dulunya masing-masing berada di kawasan Butung Keke, Panorakkang dan Pintuang. Ketiga tempat itu berdasarkan pembagian wilayah Lemo-Lemo pada masa lalu. Di Butung Keke yang terletak di wilayah pantai itulah terdapat meriam peninggalan Portugis yang moncongnya menghadap ke laut. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dan pemerintah setempat pada tahun 1980-an meriam tersebut dipindahkan ke halaman rumah Karaeng Te’ne. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya pelestarian benda bersejarah tersebut. Sedangkan dua meriam lainnya yang berada di Panorakkkang dan Pintuang kini diamankan di rumah warga di Tanah Beru.
![]() |
Bersama Karaeng Te'ne di depan meriam Portugis |
Bila
merujuk pada sejarah kedatangan Portugis ke Nusantara maka bisa dipastikan usia
meriam-meriam itu sudah mencapai 500
tahun lebih. Dalam catatan sejarah, Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara. Dan bangsa Eropa pertama yang tiba di daratan Sulawesi
adalah Portugis. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang
menguntungkan pada awal abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik Roma mereka. Keahlian bangsa
Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal dan persenjataan memungkinkan mereka berani
mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi. Bermula dengan ekspedisi penjelajahan
pertama yang dikirim ke Malaka yang mereka taklukkan pada tahun 1512. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan
penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia
Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor.
Yang menyisakan
misteri justru adalah ranjau laut itu! Bentuknya sangat mirip dengan ranjau
laut buatan Rusia tahun 1927 yang lazim digunakan pada Perang Dunia II.
Informasi dari penduduk setempat, ranjau laut itu telah ada sejak dulu dan
tergeletak begitu saja di pantai. Asumsi penulis, ranjau laut tersebut benar buatan Rusia namun digunakan
oleh Jepang untuk menghadang kapal-kapal laut Tentara Sekutu. Hal ini sangat
mungkin, sebab pada Perang Dunia I Jepang bersekutu dengan Rusia.Sepotong Surga yang Terlupakan
Lemo-Lemo adalah sebuah pantai molek yang berpasir putih.
Letaknya tujuh kilometer dari Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Hamparan pasir putih membentang luas dan panjang. Beberapa
gugusan batu karang menyembul ke permukaan air. Masih begitu alami. Selain itu
terdapat sebuah fenomena alam yang unik berupa tanah berwarna merah melingkar yang
berdiameter beberapa puluh sentimeter. Selebihnya tanah berwarna hitam. Apabila
tanah merah ini digali, tanah akan tetap berwana merah.
Sangat berbeda dengan Pantai Pasir Putih Tanjung Bira yang panas dan tanpa
pepohonan, Pantai Lemo-Lemo justru sangat sejuk. Meski terik matahari menyengat
namun suasana pantai ini disejukkan oleh rimbunan hutan dengan tumbuhan
heterogen yang berada di sekitarnya.
Fenomena alam lainnya yang juga sangat menarik adalah sebuah mata
air tawar yang terletak di tepi pantai. Kemudian hanya beberapa puluh meter saja
dari tepi pantai terdapat sebuah gua yang di dalamnya mengalir mata air tawar
dan jernih. Mata air inilah yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk mandi maupun memasak. Berjarak beberapa meter saja dari gua tersebut
terdapat sisa-sisa benteng istana.
Demikian pula di dekat pantai terdapat sisa-sisa Benteng Karampuang. Menurut
penuturan masyarakat salah satu dari dua
benteng pertahanan Lemo-Lemo ini dulunya digunakan sebagai pertahanan dari
serangan Belanda.
Ismi Yuliati, S.S seorang alumnus sejarah
Universitas Gadjah Mada menerangkan dalam sebuah artikelnya yang dimuat oleh beritabulukumba.com pada tahun 2013, bahwa
Lemo-Lemo adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah kejayaan
maritim di Nusantara beberapa abad silam. Lemo-Lemo adalah kerajaan yang berada
di bawah taklukan Kerajaan Gowa. Kala
Kerajaan Gowa berperang melawan Belanda, maka wilayah Kerajaan Lemo-Lemo juga menjadi
salah satu basis perlawanan dan pertahanan. Lemo-lemo adalah pusat Kerajaan Lemo-Lemo. Sebagai
sebuah daerah taklukan, Lemo-lemo berkewajiban untuk menyediakan armada bagi
Kerajaan Gowa. Lantaran masyarakat Lemo-Lemo mewarisi keahlian membuat perahu. Hingga
kini keahlian membuat perahu masih dapat dijumpai di Lemo-Lemo. Meski
intensitasnya tidak seperti halnya di Tanah Beru.
Beberapa makam para raja Lemo-Lemo menjadi
bukti bahwa di tempai ini dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yang memegang
peranan penting dalam sejarah kemaritiman Nusantara. Makam para pembesar
Kerajaan Lemo-Lemo yang terdapat di antara semak-semak hutan di tepian Pantai
Lemo-Lemo juga merupakan aset budaya sekaligus wisata sejarah.(*)
wah tempatnya keren, latar belakang sejarahnya juga ya bang
BalasHapuspaling ngeri bagian suku kanibalnya itu lho :/
Maaf..saya turunan dari Karaeng Lemo-Lemo..Perlu saya klarifikasi bahwa menurut cerita dari turun temurun Lemo_lemo itu bukan daerah taklukkan dari Kerajaan Gowa tapi Kerajaan Lemo-Lemo adalah saudara dari Kerajaan Gowa. Kalau diliat dari Silsilah Raja Lemo-Lemo ke IX yaitu Karaeng Tanriliwang Dg. Palallo adalah anak dari Mabbitara Daeng Palallo (Somba Ri Gowa) kalau masih butuh informasi silahkan telusuri ke Balla Lompoa di Gowa, siapa tau bisa dibukakn lontaranya.
BalasHapusMantap
BalasHapus