Rumah panggung warga Ammatoa (Foto: Kompas.com) |
Bentuk
Rumah dan Pola Permukiman
Di dalam kawasan adat Ammatoa Kajang, khususnya di kawasan
inti Dusun Benteng, rumah penduduk seluruhnya menghadap ke arah barat.
Ada filosofi yang mereka anut dalam menata permukiman komunitas Ammatoa. Kalau rumah mereka tidak menghadap ke barat, setidaknya harus menghadap ke gunung. Hal ini disebabkan karena arah barat merupakan tempatnya Kiblat, dan tenggelamnya matahari. Secara filosofi hal ini bermakna munculnya kegelapan. Menurut mereka kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan sesudah kematian (akhirat). Bahkan pada malam hari dilarang menggunakan cahaya yang berlebihan, meskipun lingkungan sekitarnya sangat rimbun oleh berbagai jenis tumbuhan.
Ada filosofi yang mereka anut dalam menata permukiman komunitas Ammatoa. Kalau rumah mereka tidak menghadap ke barat, setidaknya harus menghadap ke gunung. Hal ini disebabkan karena arah barat merupakan tempatnya Kiblat, dan tenggelamnya matahari. Secara filosofi hal ini bermakna munculnya kegelapan. Menurut mereka kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan sesudah kematian (akhirat). Bahkan pada malam hari dilarang menggunakan cahaya yang berlebihan, meskipun lingkungan sekitarnya sangat rimbun oleh berbagai jenis tumbuhan.
Menurut komunitas Ammatoa Kajang warna hitam mengandung makna bahwa semua manusia
akan kembali ke dunia yang gelap/ kematian. Selain itu, menurut mereka
penggunaan warna hitam, meskipun kena noda tidak akan terlalu nampak.
Secara umum bentuk arsitektur rumah
komunitas Ammatoa sama dengan bentuk
rumah suku Bugis Makassar. Model rumah mereka ialah rumah panggung yang terdiri
dari tiga bagian. Ini melambangkan dunia mikrokosmos yang terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. Bagian atas rumah mereka
sebut Para / Loteng yang melambangkan
dunia atas. Para atau loteng ini mereka fungsikan sebagai
tempat menyimpan hasil pertanian berupa makanan seperti padi, jagung dan
sebagainya. Bagian badan rumah/ bagian tengah mereka sebut Kale Bola yang melambangkan dunia tengah. Badan rumah inilah yang
ditempati oleh pemiliknya untuk beraktifitas sehari-hari. Bagian bawah rumah
disebut Siring yang melambangkan
dunia bawah. Siring atau kolong rumah mereka fungsikan sebagai tempat untuk
menyimpan peralatan pertanian. Kolong rumah juga berfungsi sebagai tempat
menumbuk padi, menenun dan bahkan dijadikan sebagai kandang ternak.
Di dalam wilayah adat Ammatoa atau Tana Kamase-masea semua rumah mempunyai bentuk yang sama. Kesamaan itu
bukan saja dari segi bentuk tetapi juga dari segi bahan, ukuran, denah ruangan
dan fungsi ruangan. Dengan bentuk maupun jenis bahan yang sama, dapat
menimbulkan kebersamaan di antara komunitas adat Ammatoa. Dengan timbulnya kebersamaan di antara mereka maka tidak
ada yang merasa lebih dari yang lainnya. Di antara komunitas Ammatoa, tidak terjadi persaingan, baik
dari segi materi maupun yang lainnya. Model rumahnya adalah rumah panggung yang
mempunyai 16 buah tiang yang ditanam. Hal ini merupakan simbolisasi, yang
berarti bahwa ketika manusia mati, jasadnya akan di tanam dalam tanah.
Bagian dalam rumah warga komunitas
adat Ammatoa Kajang, tidak memiliki
sekat/ kamar. Suatu hal yang sangat unik ialah penempatan dapur yang diletakkan
di bagian depan rumah, disebelah kiri pintu masuk. Ini mengandung makna
filosofi bahwa orang Kajang sangat
memuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Dengan tidak adanya ruangan kamar,
hal ini bermakna bahwa mereka memiliki sifat keterbukaan dan menunjukkan apa
adanya.
Bagi komunitas Ammatoa, prinsip hidup kamase-masea
(bersahaja) betul-betul dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan tersebut baik dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, maupun
papan (rumah). Untuk kebutuhan rumah tangga misalnya, itu tercermin dalam
kelengkapan isi rumah mereka. Di dalam rumah mereka, tidak ditemukan satu pun
perabot rumah tangga seperti kursi, meja, lemari, maupun tempat tidur
(ranjang/dipan). Peralatan yang ada hanyalah alat dapur, seperti periuk dan
sebagainya, yang kebanyakan terbuat dari tanah liat (gerabah). Bahkan untuk
keperluan makan pun, mereka hanya menggunakan tempurung kelapa.
Bagian-bagian rumah orang Kajang
merupakan simbol yang masing-masing mengandung makna tertentu seperti :
1. Pappamuntulan yang terletak di Latta riolo (tempat tamu) bermakna bahwa segala sesuatu mempunyai
batas. Seorang tamu tidak boleh melewati Pappamuntulan,
kecuali seizin tuan rumah.
2. Tiang rumah tidak dilubangi merupakan simbol
menghindari bahaya. Ini bermakna bahwa agar pemilik rumah terhindar dari bahaya
atau bentuk kekerasan yang dapat menyebabkan “lubang”.
3. Tiang rumah ditanam bermakna bahwa manusia harus
selalu berhubungan dengan tanah yang merupakan “ibu” manusia.
4. Papan dinding rumah dipasang horizontal, merupakan
simbol “jangan menghidupkan yang sudah mati”. Pohon yang sudah dibuat menjadi papan,
dianggap sudah “mati”. Tidak boleh dipasnag dalam posisi berdiri seperti ketika
masih hidup. Hal ini bermakna dilarang bertindak yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
5. Letak dapur di depan, maksudnya memuliakan dapur
sebagai sumber kehidupan. Hal ini bermakna keterbukaan. Selanjutnya mengandung
makna bahwa apabila dapur berasap atau dinyalakan, itu pertanda tamu akan
dijamu dan sebaliknya jangan pulang sebelum dijamu. Menolak jamuan menyebabkan
tuan rumah tersinggung.
6. Tempat cuci kaki diletakkan pada bagian depan
rumah, mengandung makna bahwa setiap masalah harus dihadapi dengan kepala
dingin.
7. Baris tiang rumah yang berjumlah empat lajur
(saluru’) merupakan simbol yang bermakna bahwa orang yang sudah berkeluarga
diapit oleh empat orang tua, yaitu ibu bapak dan kedua mertua.
Kehidupan komunitas Ammatoa akrab dengan nuansa religius
menurut kepercayaan patuntung. Hal
ini dapat dilihat pada simbol-simbol dari aktifitas yang pernah berlangsung.
Misalnya upacara pensucian rumah, ini diabadikan dengan penggambaran manusia
kangkang di dalam rumah. Terdapat tiga proses pensucian diri manusia yang
ditandai dengan pemasangan dompe/ destar,
yaitu penutup kepala dari kain hitam bagi laki-laki. Berdasarkan tradisi,dalam
upacara tersebut dilakukan pemotongan kerbau. Upacara ini diabadikan dengan
pemasangan tanduk kerbau di bagian tengah rumah (ruang utama).
Suatu hal yang sangat unik pada rumah
penduduk Tana Kamase-Mase, khususnya
di dalam Dusun Benteng ialah tak satu pun bagian rumah yang menggunakan paku.
Untuk memperkuat satu bagian rumah dengan bagian lainnya, umumnya hanya diikat
dengan menggunakan rotan (uhe-konjo)
atau digunakan pasak kayu atau bambu. Pantangan menggunakan hasil industri dan teknologi
menggambarkan keterikatan mereka pada ajaran leluhur, yang hanya dibolehkan
menggunakan bahan alam.
Wilayah inti komunitas adat Ammatoa, berada di Dusun Benteng.
Wilayah ini sama sekali belum tersentuh oleh pengaruh luar, baik hasil
teknologi maupun yang lainnya. Mereka betul-betul berada pada kungkungan adat
yang sangat ketat. Rumah-rumah di dusun Benteng memiliki pola pemukiman
berkelompok dan menghadap ke barat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan Patuntung yang mereka anut. Ciri khas lainnya adalah nampak pada
pola pemukiman mereka yang selalu menghadap ke arah ketinggian (bukit dan gunung).
Pola pemukiman seperti ini berbeda dengan pola pemukiman suku Bugis Makassar
pada umumnya. Pada umumnya rumah-rumah orang Bugis Makassar berderet berhadapan
sepanjang jalan, atau mengikuti aliran sungai.
Menurut Puto Massaniga yang dikutip dari Yusuf Akib “ Anjo balla’a addalle mange ribuki’a anre’ nahaji’ addalle mange ri
alluka” artinya rumah harus menghadap kegunung (tempat ketinggian) tidak
baik bila menghadap ke lembah. Pola penempatan arah hadap rumah seperti ini
berkaitan dengan keyakinan kepercayaan mereka bahwa Tu Rie’ A’ra’na “Tuhan” mereka bersemayam ditempat yang tinggi.
Penempatan rumah ini bermakna agar rezeki yang berasal dari Tu Rie’ A’ra’na dapat diterima secara
langsung, sebab “Tuhan” berada ditempat yang tinggi.
Sampai dewasa ini pola pemikiran situ masih
dianut dengan ketat oleh komunitas Ammatoa
dimana pemimpin adat ini berdiam. Tetapi beberapa tahun belakangan ini, semakin
jauh dari wilayah inti komunitas Ammatoa,
pola pemukiman sudah mulai dipengaruhi oleh pemikiran dari luar. Hal ini
membuktikan bahwa komunitas adat Ammatoa
(khususnya yang bermukim di luar wilayah inti/ dusun benteng) sudah mulai
beradaptasi dengan budaya luar. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar