Jangan tanyakan kabar terbaru atau posisi terakhir dari seorang penyair. Kabar terbarunya pasti terletak pada diksi dalam puisinya yang terbaru. Posisinya yang terakhir berada di balik salah satu bait puisinya yang paling rahasia. Kabar paling mutawatir dari seorang Andhika Mappasomba pun selalu begitu. Namun akan selalu ditulis oleh siapa saja yang mau menguntitnya.
![]() |
Andhika Mappasomba (Foto: tokonjo.blogspot.co.id) |
Andhika Mappasomba
alias Andhika Daeng Mammangka merupakan nama pena dari Andi Abdul Karim, SS.
Dia
lahir dan dibesarkan
di kampung pesisir Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari pada 04 April 1980.
Mulai menyukai
dan menulis puisi sejak duduk di bangku kelas dua SMP sejak mulai berani memahami rahasia-rahasia perempuan dan kehidupan. Menyelesaikan S1 Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra di UIN Alauddin Makassar tahun 2003.
Sebelumnya banyak
bertualang di Papua dan Ternate dan kota di Indonesia Timur lainnya. Menulis
puisi, cerpen dan essai di berbagai media cetak dan online. Juga giat melakukan
penelitian sosial budaya. Sejak tahun 2006 tercatat sebagai dosen di Fakultas
Sastra Universitas Islam makassar. Sejak tahun 2010 juga mulai menggubah lagu
yang dinyanyikan oleh sebuah komunitas seniman Laskar Kelor.
Sekali waktu ia dijuluki sebagai “Penghibur Sastra Keliling Kampung”. Bisa jadi,
sebab ia kerap membacakan puisi di tempat-tempat yang bagi orang banyak mungkin
adalah tempat yang tidak lazim bagi puisi. Misalnya, ia pernah membacakan puisinya di tempat karaoke,
di atas truk, di tengah para kuli dan ladang jagung.
Pada awal tahun
2009, ia menggagas Bulukumba sebagai “Kota Seribu Penyair”. Bersama
teman-temannya yang seidealis ia mendeklarasikannya dengan pentas sastra dan
musik kala itu di pelataran pendopo Rumah Jabatan Bupati Bulukumba.
Buku-buku karyanya yang telah terbit: “Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang
Tersenyum” merupakan buku antologi sastra berdua bersama Anis
Kurniawan pada 2004. Bukunya yang
kedua “Mawar dan Penjara” pada 2010 adalah sekumpulan pusinya yang banyak
ditulis semasa mahasiswa pada saat dirinya menjadi seorang tapol di penjara.
Sejak
tahun 2007, ia melakukan gerakan sastra di banyak daerah dengan mendorong
terbentuknya kelompok sastra aktif dan pasif di
Indonesia diantaranya Lingkar Sastra Batu Gojeng Sinjai, Poros Sastra Empat dan
Poros Sastra 11 Mamuju Sulawesi Barat, Poros sastra Pulau Bunyu Kaltim, dan sebagainya.
Sejak
tahun 2000 banyak diundang membicarakan sastra di berbagai
komunitas, sekolah dan kampus. Selain itu, dengan vespa tuanya, dia kerap
bertualang di Sulawesi Barat, Selatan dan Tenggara, Kalimantan dan masih banyak lagi. Mengunjungi dan berdiskusi
soal sastra dan kebudayaan secara luas untuk membangun jejaring pegiat sastra
baik face to face maupun melalu
jejaring media sosial.
Seusai
menumpahkan kegelisahan melalui buku “Ingin Kukencingi Mulut Monalisa yang
Tersenyum” Andhika lalu terlibat sebagai bagian dari Tim
Editor Buku “Menapak Hari Esok
Bulukumba yang Lebih Baik,” lalu bersama Ramli Palammai meneliti dan menulis buku “Sejarah
Eksistensi Ada' Lima Karaeng Tallua di Kajang” (2012), menerbitkan
buku puisi Mawar dan Penjara (2010)
yang sekaligus menjadi mahar pernikahannya, Buku “Kumpulan
Tulisan Pemikiran Pemuda Bulukumba” bersama KNPI Bulukumba (2012). Bersama Sri Ulfanita, salah seorang
penulis Rumah Putih, Ia juga terlibat sebagai bagian dari Tim
Editor sekaligus salah satu penulis Buku “Ahyar Anwar
Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta: Sebuah Obituari” (Penerbit Ombak Yogyakarta, 2014). Lalu, buku puisi berbahasa Konjo "Jeraq" (2016).
Bukunya yang
berjudul Sekumpulan Sajak Untuk “S” (2011) adalah buku paling menawan terkhusus lipatan-lipatan rahasia perjalanan cintanya. Khusus mengenai buku itu, ia mengatakan dengan penuh metaforik, “itu
adalah sekumpulan rahasia tentang ‘S’ untuk semakin melengkapi banyak rahasia.”
Sebuah
pencapaian yang luar biasa hadir tatkala seorang pengarang seperti seorang
Andhika mampu mengimplementasikan segala peristiwa hidupnya ke dalam bentuk dan
skema puitik. Salah satu kumpulan puisinya “ Mawar dan Penjara” misalnya telah
berhasil menampik pemaknaan terhadap pengarang yang mati setelah karyanya. Apa
yang dihadirkan dalam beberapa kumpulan puisinya adalah bentuk eksistensialis
dan kebertahanan pengarangnya terhadap pilihan hidupnya yang melebur dalam
sastra.
Lelaki
Bulukumba yang dalam separuh hidupnya
memelihara rambut gondrong ini diangkat menjadi Redaktur Rubrik Budaya di
Harian Radar Bulukumba tahun 2011-2012. Sering membacakan puisi-puisinya
sendiri sebagai tamu dalam program
sastra “Ekspresi” di Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM Bulukumba sejak tahun 2005 sampai sekarang.
Aktif menggeliat dalam berbagai
seni pertunjukan dan kegiatan sastra di berbagai kota di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat. Bersama Arum Spink, menggagas dan mendirikan Sekolah Sastra di
Bulukumba. Itulah sekolah sastra yang pertama di Indonesia bahkan di dunia. Ia
juga terlibat di P3i Culture Institute.
Eksistensi
seorang Andhika Mappasomba dalam menyuguhkan karyanya ke publik adalah sebuah
pilihan besar yang tak biasa bagi sebagian sastrawan.
Tema-tema besar dan global yang diusungnya
mewakili pemaknaan teks-teks puitik terhadap implikasi sosial budaya masyarakat
pembacanya. Apa yang dihadirkannya tak lain adalah segala bentuk peristiwa
puitik yang membumi dalam kehidupannya. Makna-makna
dalam teks-teks puisinya memberitahu kita seperti apa latar kehidupan seorang Andhika yang coba
disampaikannya ke publik dengan ranah estetik yang romantik dan tajam.
Sekali waktu,
Andhika mengungkapkan harapannya bahwa harus ada aksi nyata para pemangku
kepentingan atau stake-holder untuk membumikan sastra secara simultan dan
berkelanjutan kepada siswa didik di tengah meruyaknya imaji kekerasan.
Menurut
Andhika, sudah saatnya dunia pendidikan kita dikembalikan sebagai basis dan
pusat pendidikan nilai yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi
masa depan yang cerdas dan terampil, tanpa kehilangan ”roh” dan spirit
kemanusiaan sehingga mampu menghadapi tantangan hidup secara arif, matang, dan
dewasa. “Sastra memiliki peran penting untuk mewujudkan atmosfer semacam itu,”
tegasnya.
Andhika
adalah seorang seniman komplit. Selain sebagai penyair ia juga prosais,
cerpenis, eseis, pencipta lagu, dosen, blogger, jurnalis dan penyiar radio.
Sejak tahun 2012 ia turut terlibat sebagai konseptor dan pengelola radio
komunitas Swara Rakyat Mandiri 107,7 FM Bulukumba.
Sebagai seorang
jurnalis, belakangan ini kecenderungannya menukik pada jurnalisme sastra. Hal
itu tergambar jelas dalam MercusuarNewsCom, sebuah portal
berita media online berbasis jurnalisme sastra. Situs berita di internet itu
mulai dibangunnya pada 2011 bersama para pegiat sastra lainnya di Sulawesi
Selatan. Di waktu senggang, ia juga suka menimbun puisi-puisinya dalam situs kelongpajaga.blogspot.com.
Andhika
memiliki kekuatan musikalitas dan lirycal. Beberapa lagunya yang digarap dalam
bahasa daerah Konjo sukses dibawakan oleh kelompok musik Laskar Kelor. Beberapa
lagu karyanya sangat terkenal di radio di
antaranya: Kitajangma Ri Bira, Ri Batu
Mesangta dan Kampongna Anrongku yang pernah sempat menembus program tangga lagu
di Radio Cempaka Asri 102,5 FM.
Lagu-lagu
berbahasa Konjo itu pula yang mengantarkannya bersama Laskar Kelor menjadi tamu
dalam wawancara eksklusif di Radio Cempaka Asri Bulukumba, Radio Suara Celebes,
Celebes TV Makassar dan beberapa media lainnya pada 2011.
Andhika
mendirikan Komunitas Laskar Kelor Artis Community, Phinisi Institute Social and
Education, Mata Sejuk Indonesia dan Sekolah Sastra Bulukumba (SSB).
Sekolah Sastra Bulukumba adalah sekolah sastra pertama di Sulawesi Selatan dan
Indonesia.
Bergabung
dengan organisasi sosial budaya P3i Cultural Studies, Palang Merah Jingga dan
sebagainya. Beberapa karyanya yang masih sedang berderet;
buku Cerpen “Jembatan”, Novelet Tarailu, Namanya Mandar,
Novel Malewa, Catatan Parsial Sejarah Bulukumba, Dongeng Bulukumba, dan beberapa yang lainnya.
Dalam
berbagai kesempatan penyair muda ini sering mengatakan, “Saya
selalu bermimpi bahwa sastra
akan dibicarakan seperti politik di warung kopi.” (*)
0 komentar:
Posting Komentar