Kamis, 03 November 2016

Andhika Mappasomba, Penyair Internasional Keliling Kampung

            Jangan tanyakan kabar terbaru atau posisi terakhir dari seorang penyair. Kabar terbarunya pasti terletak pada diksi dalam puisinya yang terbaru. Posisinya yang terakhir berada di balik salah satu bait puisinya yang paling rahasia. Kabar paling mutawatir dari seorang Andhika Mappasomba pun selalu begitu. Namun akan selalu ditulis oleh siapa saja yang mau menguntitnya.

Andhika Mappasomba (Foto: tokonjo.blogspot.co.id)
Sebagaimana laut biru, batu karang, pasir pantai dan aroma ikan-ikan yang dijemur di kampung kelahirannya, ia terbiasa dipahat oleh alam dan kehidupan yang keras. Sebahagian besar perjalanan yang telah dikunyahnya lalu ditulis menjadi puisi.        
Andhika Mappasomba alias Andhika Daeng Mammangka merupakan nama pena dari Andi Abdul Karim, SS. Dia lahir dan dibesarkan di kampung pesisir Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari pada 04 April 1980.
Mulai menyukai dan menulis puisi sejak duduk di bangku kelas dua SMP sejak mulai berani memahami rahasia-rahasia perempuan dan kehidupan.  Menyelesaikan S1 Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra di UIN Alauddin Makassar tahun 2003.
Sebelumnya banyak bertualang di Papua dan Ternate dan kota di Indonesia Timur lainnya. Menulis puisi, cerpen dan essai di berbagai media cetak dan online. Juga giat melakukan penelitian sosial budaya. Sejak tahun 2006 tercatat sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Islam makassar. Sejak tahun 2010 juga mulai menggubah lagu yang dinyanyikan oleh sebuah komunitas seniman Laskar Kelor.
Sekali waktu ia dijuluki sebagai “Penghibur Sastra Keliling Kampung”.  Bisa jadi, sebab ia kerap membacakan puisi di tempat-tempat yang bagi orang banyak mungkin adalah tempat yang tidak lazim bagi puisi. Misalnya, ia pernah membacakan puisinya di tempat karaoke, di atas truk, di tengah para kuli dan ladang jagung.
Pada awal tahun 2009, ia menggagas Bulukumba sebagai “Kota Seribu Penyair”. Bersama teman-temannya yang seidealis ia mendeklarasikannya dengan pentas sastra dan musik kala itu di pelataran pendopo Rumah Jabatan Bupati Bulukumba.
                Buku-buku karyanya yang telah terbit: “Ingin Kukencingi Mulut Monalisa Yang Tersenyum” merupakan buku antologi sastra berdua bersama Anis Kurniawan pada 2004. Bukunya yang kedua “Mawar dan Penjara” pada 2010 adalah sekumpulan pusinya yang banyak ditulis semasa mahasiswa pada saat dirinya menjadi seorang tapol di penjara.
                Sejak tahun 2007, ia melakukan gerakan sastra di banyak daerah dengan mendorong terbentuknya kelompok sastra aktif dan pasif di Indonesia diantaranya Lingkar Sastra Batu Gojeng Sinjai, Poros Sastra Empat dan Poros Sastra 11 Mamuju Sulawesi Barat, Poros sastra Pulau Bunyu Kaltim, dan sebagainya.
                Sejak tahun 2000 banyak diundang membicarakan sastra di berbagai komunitas, sekolah dan kampus. Selain itu, dengan vespa tuanya, dia kerap bertualang di Sulawesi Barat, Selatan dan Tenggara, Kalimantan dan masih banyak lagi. Mengunjungi dan berdiskusi soal sastra dan kebudayaan secara luas untuk membangun jejaring pegiat sastra baik face to face maupun melalu jejaring media sosial.
                Seusai menumpahkan kegelisahan melalui buku Ingin Kukencingi Mulut Monalisa yang Tersenyum Andhika lalu terlibat sebagai bagian dari Tim Editor Buku Menapak Hari Esok Bulukumba yang Lebih Baik,” lalu bersama Ramli Palammai meneliti dan menulis buku Sejarah Eksistensi Ada' Lima Karaeng Tallua di Kajang (2012), menerbitkan buku puisi Mawar dan Penjara (2010) yang sekaligus menjadi mahar pernikahannya, Buku Kumpulan Tulisan Pemikiran Pemuda Bulukumba bersama KNPI Bulukumba (2012). Bersama Sri Ulfanita, salah seorang penulis Rumah Putih, Ia juga terlibat sebagai bagian dari Tim Editor sekaligus salah satu penulis Buku “Ahyar Anwar Yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta: Sebuah Obituari(Penerbit Ombak Yogyakarta, 2014). Lalu, buku puisi berbahasa Konjo "Jeraq" (2016).
Bukunya yang berjudul Sekumpulan Sajak Untuk S(2011) adalah buku paling menawan terkhusus lipatan-lipatan rahasia perjalanan cintanya. Khusus mengenai buku itu, ia mengatakan dengan penuh metaforik, “itu adalah sekumpulan rahasia tentang ‘S’ untuk semakin melengkapi banyak rahasia.”
                Sebuah pencapaian yang luar biasa hadir tatkala seorang pengarang seperti seorang Andhika mampu mengimplementasikan segala peristiwa hidupnya ke dalam bentuk dan skema puitik. Salah satu kumpulan puisinya “ Mawar dan Penjara” misalnya telah berhasil menampik pemaknaan terhadap pengarang yang mati setelah karyanya. Apa yang dihadirkan dalam beberapa kumpulan puisinya adalah bentuk eksistensialis dan kebertahanan pengarangnya terhadap pilihan hidupnya yang melebur dalam sastra.
Lelaki Bulukumba yang dalam separuh hidupnya memelihara rambut gondrong ini diangkat menjadi Redaktur Rubrik Budaya di Harian Radar Bulukumba tahun 2011-2012. Sering membacakan puisi-puisinya sendiri sebagai tamu dalam program sastra “Ekspresi” di Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM Bulukumba sejak tahun 2005 sampai sekarang.
                Aktif menggeliat dalam berbagai seni pertunjukan dan kegiatan sastra di berbagai kota di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Bersama Arum Spink, menggagas dan mendirikan Sekolah Sastra di Bulukumba. Itulah sekolah sastra yang pertama di Indonesia bahkan di dunia. Ia juga terlibat di P3i Culture Institute.
Eksistensi seorang Andhika Mappasomba dalam menyuguhkan karyanya ke publik adalah sebuah pilihan besar yang tak biasa bagi sebagian sastrawan. Tema-tema besar dan global yang diusungnya mewakili pemaknaan teks-teks puitik terhadap implikasi sosial budaya masyarakat pembacanya. Apa yang dihadirkannya tak lain adalah segala bentuk peristiwa puitik yang membumi dalam kehidupannya. Makna-makna  dalam teks-teks puisinya memberitahu kita seperti apa latar kehidupan seorang Andhika yang coba disampaikannya ke publik dengan ranah estetik yang romantik dan tajam.
Sekali waktu, Andhika mengungkapkan harapannya bahwa harus ada aksi nyata para pemangku kepentingan atau stake-holder untuk membumikan sastra secara simultan dan berkelanjutan kepada siswa didik di tengah meruyaknya imaji kekerasan.
Menurut Andhika, sudah saatnya dunia pendidikan kita dikembalikan sebagai basis dan pusat pendidikan nilai yang menggembleng jutaan anak bangsa menjadi generasi masa depan yang cerdas dan terampil, tanpa kehilangan ”roh” dan spirit kemanusiaan sehingga mampu menghadapi tantangan hidup secara arif, matang, dan dewasa. “Sastra memiliki peran penting untuk mewujudkan atmosfer semacam itu,” tegasnya.
                Andhika adalah seorang seniman komplit. Selain sebagai penyair ia juga prosais, cerpenis, eseis, pencipta lagu, dosen, blogger, jurnalis dan penyiar radio. Sejak tahun 2012 ia turut terlibat sebagai konseptor dan pengelola radio komunitas Swara Rakyat Mandiri 107,7 FM Bulukumba.
Sebagai seorang jurnalis, belakangan ini kecenderungannya menukik pada jurnalisme sastra. Hal itu tergambar jelas dalam MercusuarNewsCom, sebuah portal berita media online berbasis jurnalisme sastra. Situs berita di internet itu mulai dibangunnya pada 2011 bersama para pegiat sastra lainnya di Sulawesi Selatan. Di waktu senggang, ia juga suka menimbun puisi-puisinya dalam situs kelongpajaga.blogspot.com.
                Andhika memiliki kekuatan musikalitas dan lirycal. Beberapa lagunya yang digarap dalam bahasa daerah Konjo sukses dibawakan oleh kelompok musik Laskar Kelor. Beberapa lagu karyanya sangat terkenal di radio di antaranya: Kitajangma Ri Bira, Ri Batu Mesangta dan  Kampongna Anrongku yang pernah sempat menembus program tangga lagu di Radio Cempaka Asri 102,5 FM.
                Lagu-lagu berbahasa Konjo itu pula yang mengantarkannya bersama Laskar Kelor menjadi tamu dalam wawancara eksklusif di Radio Cempaka Asri Bulukumba, Radio Suara Celebes, Celebes TV Makassar dan beberapa media lainnya pada 2011.
                Andhika mendirikan Komunitas Laskar Kelor Artis Community, Phinisi Institute Social and Education, Mata Sejuk Indonesia dan Sekolah Sastra Bulukumba (SSB). Sekolah Sastra Bulukumba adalah sekolah sastra pertama di Sulawesi Selatan dan Indonesia.
                Bergabung dengan organisasi sosial budaya P3i Cultural Studies, Palang Merah Jingga dan sebagainya. Beberapa karyanya  yang masih sedang berderet; buku Cerpen “Jembatan”, Novelet Tarailu, Namanya Mandar, Novel Malewa, Catatan Parsial Sejarah Bulukumba, Dongeng Bulukumba, dan beberapa yang lainnya.
                Dalam berbagai kesempatan penyair muda ini sering mengatakan, “Saya selalu bermimpi bahwa sastra akan dibicarakan seperti politik di warung kopi.” (*)

0 komentar:

Posting Komentar