Prof. Dr. Mattulada merupakan satu-satunya putra Bulukumba yang pernah
dinobatkan sebagai cendekiawan dan tokoh sastra nasional karena karya-karya
besarnya. Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2012 mengganjarnya
dengan penghargaan untuk dua buku karyanya yang mendunia: “Latoa, Sebuah Deskripsi Analitik Antropologi Politik Bugis” dan “Mencari Bugis di Asia Tenggara.”
Karya-karya
ilmiah Mattulada yang lain, di antaranya: The Spread of the Buginese in
Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia (editor Koentjaraningrat -- 1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah
Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang -- 1981), Menyusuri Jejak
Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di
Sulawesi Tengah (1991), dan Human Ecology (1993).
Profesor ini selalu berpendapat bahwa antropologi yang digelutinya
berkaitan
sangat erat dengan prilaku manusia, bertaut lekat dengan kesenian yang sangat
mengedepankan sisi humanistis, nurani dan kata hati.
Sebahagian hidup cendekiawan
kelahiran Bulukumba 15 November 1928 ini diabdikankan untuk mengajar, melakukan
penelitian
dan mengembangkan
minatnya yang lain, kesenian.
Dialah yang
kemudian dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor
Dewan Kesenian Makassar (DKM). Pada masa menjabat Ketua DKM itulah, di Makassar
muncul nama-nama budayawan dan sastrawan terkenal seperti Rahman Arge, Aspar Paturusi, Husni
Djamaluddin, Arsal Alhabsyi, Drs Ishak Ngeljaratan MS, dan DR Sutiono
Sinansari Ecip dan Andi Rio Daeng Riolo.
Di masa hidupnya, Mattulada
selalu menampik
anggapan bahwa di masanyalah DKM mencapai "masa keemasan" dalam
melahirkan karya. Bagi dia, tampilnya angkatan Arge dan kawan-kawan erat
kaitannya dengan masa perjuangan waktu itu, 60-an hingga awal 70-an. Era itu,
karya sastra dan kesenian tumbuh subur karena situasi, dan para pejabat di
Sulsel sangat mendukung.
Mattulada sempat mengalami masa-masa pahit getir revolusi. Seandainya Kepala Polisi
Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba,
barangkali kita tak kenal lagi Mattulada. Dan seandainya "kebetulan" itu tak terjadi, mungkin nama Mattulada ikut
tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban
pembantaian Westerling - tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib
saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada saat diwawancarai oleh Kompas pada tahun 1996.
Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur
mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas
ini, satu persatu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan
tidak kembali lagi.
"Saya
resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa,"
kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang
dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar
pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak
menelorkan pejuang termasuk Robert Wolter Monginsidi-- memanggul senjata lagi
melawan Belanda. Rekannya se-SMP Nasional, Wolter Monginsidi, dihukum mati
Belanda dalam proses peradilan cepat.
Merunut kembali sejarah,
Mattulada mengatakan, siapapun yang menjadi pejuang waktu itu pasti ridho
merelakan nyawanya bagi Ibu Pertiwi. Ia mengakui, yang memompa semangatnya dan
memberi inspirasi sikap kejuangan banyak orang tak pelak lagi adalah Bung
Karno, dengan pidatonya yang berapi-api di lapangan Hasanuddin tahun 1944.
Pemimpin besar itulah yang selalu menyemangati para pejuang agar pantang menyerah dan
menggantungkan cita-cita setinggi langit.
Semangat, inovatif dan jiwa
kejuangan ditopang kecerdasan, merupakan ciri khas Mattulada. Sesudah gemuruh
perjuangan melawan Belanda mereda, ia kembali ke sekolah dengan aktif di dinas sekuriti (PAM)
Kepolisian RI. Tahun 1956, setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Tahu
bahwa Mattulada berlatar belakang sebagai tentara pelajar dan TNI, maka kepala
sekolah waktu itu, Pangkerego, menugaskan Mattulada "mengamankan"
anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamankan senjata selagi guru
sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya
menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu
kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Mattulada adalah salah satu sosok penting di balik berdirinya Universitas
Hasanuddin. Dialah yang termasuk dibawa Oom No (Arnold Mononutu) menghadap
Presiden RI mendesak berdirinya sebuah PTN di Makassar. Namun karena waktu itu
Bung Karno sedang ke Sumatera, maka ia hanya bisa bertemu Mohammad Hatta (Wakil
Presiden waktu itu). Hatta pun mengatakan pemerintah telah memikirkan
mendirikan sebuah PTN di Makassar, ia menuturkan kepada Gubernur Sulsel (waktu
itu) Andi Pangerang Petta Rani bahwa Hatta telah menyalakan lampu hijau.
Maka di
awal tahun 1956 tatkala Mendikbud
(waktu itu) Bahder Djohan berkunjung ke Makassar, Mattulada dan kawan-kawannya
melakukan aksi. Mobil yang ditumpangi Bahder dan beberapa tokoh pendidikan
Sulsel, "dihentikan" Mattulada dan kawan-kawan di Tamalanrea (kini
menjadi kampus baru Unhas).
Bahder
Djohan yang tahu Sulsel masih dirusuhi gerombolan mengira ada sesuatu yang luar
biasa terjadi. Tapi, yang muncul adalah Mattulada dan kawan-kawannya, dan
keperluannya, "hanya" mendesak Mendikbud agar menyetujui pendirian
Unhas. Bahder tak bisa lain kecuali mengangguk-angguk setuju dan meminta para
pemuda bersabar sebab pemerintah pasti membuka PTN baru di Makassar.
Tak
puas hanya ucapan lisan, Mattulada dan kawan-kawan menyodorkan kertas putih
sambil meminta Bahder Djohan membuat surat tanda persetujuan pendirian
universitas baru dan menandatanganinya. Setelah semua ini dilakukan, barulah
Mattulada dan kawan-kawannya "melepas" Bahder dan rombongannya masuk
kota Makassar.
Beberapa
waktu kemudian, datang Presiden Soekarno ke Makassar. Di Gubernuran Bung Karno
dalam pengumuman selama 10 menit langsung menyatakan pendirian PTN itu, dan
menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian Mohammad Hatta
datang meresmikannya.
Pada
tahun 1959, Mattulada dan teman-teman merintis pendirian Fakultas
Sastra di Unhas. Ketika fakultas itu jadi dibuka, dialah mahasiswa pertamanya,
dan lulus 1964. Dua tahun kemudian ia menjabat Dekan Fakultas Sastra 1966-1970.
Ketika terjadi G-30s-PKI, Mattulada membentuk dua kompi pasukan semacam resimen
pelajar serba guna SMA Negeri 1 yang ia pimpin tampil sebagai salah satu
pelopor pengganyangan komunis di tempat itu.
Bakat
antropolo lebih terasah tatkala Mattulada tugas belajar di Rijks Universiteit
Leiden 1970-1972. Puncak karir Mattulada
sebagai pengajar terjadi tatkala ia ditunjuk Mendikbud (waktu itu) Dr Daoed
Yoesoef untuk menjadi Rektor Universitas Tadulako.
Disertasi
Mattulada untuk meraih doktor di Universitas Indonesia (1975): Latoa, Satu
Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, disebut- sebut
sebagai salah satu karya besar yang dihasilkan putra Sulsel setelah
kemerdekaan.
Mattulada dilantik
sebagai rektor pertama Universitas Tadulako di Palu, tanggal 18 Agustus 1981.
Dua kali dipercayakan menjabat rektor hingga 1990, Mattulada kembali ke kampung
halaman.
Di Unhas ia dipercayakan menjabat Ketua Senat
Guru Besar Unhas, 1990 hingga pensiun. Tetapi meski sudah pensiun, ia
tetap diminta Rektor Unhas Prof Dr Basri Hasanuddin MA menjadi pengajar di
program Pasca Sarjana Unhas.
Mattulada
-yang artinya Penyambung Adat – di hari tuanya lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani
istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana. Kebiasaan Mattulada semasa hidupnya adalah
berpuasa setiap Senin-Kamis.
Nama Prof. Dr Mattulada pernah menjadi buah bibir nasional pada tahun
1980-an. Pada saat hanya sedikit orang yang berani berbicara yang ‘nyeleneh’,
cendekiawan yang agak eksentrik ini dengan lantang menyebut Indonesia sebagai
‘negara pejabat’.
Dia seorang intelektual yang sangat bernas dan berkualitas, di samping
kompetensi utamanya sebagai seorang sejarawan dan antorpolog. Ia menyelesaikan
pendidikan doktor di Universitas Indonesia 1 Maret 1975.
Ketika muncul Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), Mattulada termasuk salah
seorang pendukungnya. Dia menginginkan melalui Permesta itu, daerah harus
memperoleh porsi 70% dan pusat 30% dari potensi daerah. Tuntutan itu ternyata
menjadi salah satu harapan pemerintah daerah di era otonomi daerah sekarang
ini.
Sejarawan, antropolog, budayawan dan sastrawan itu meninggal dunia pada 12
Oktober 2000. Aula Mattulada di Fakultas Sastra Unhas dan Perpustakaan
Mattulada di Gedung Rektorat Unhas Makassar adalah salah satu cara mengabadikan
namanya.
Aneh memang, justru di kampung halamannya sendiri, Bulukumba, tidak
secuilpun perhatian pemerintah untuk sekedar mengabadikan namanya apalagi
mengadopsi pemikiran-pemikirannya yang brilian. (*)
0 komentar:
Posting Komentar