Minggu, 06 November 2016

Dato’-Dato’

            Malam ditimpa cahaya bulan penuh. Tak nampak lagi bayang-bayang pohon mirip manusia di tembok pagar. Kali ini Lisa menarik pintu pagar tanpa tergesa-gesa, tidak seperti kemarin. Bunyi mendecit dari grendel pagar. Malam berlayar dengan tenang. Juga tidak ada salak anjing.
Ilustrasi (Foto: misteriduaniawi.blogspot.co.id)
          Tapi rupanya ketenangan itu hanya sesaat. Kedua kaki Lisa baru saja bergerak akan menuju beranda ketika telinganya tiba-tiba dikejutkan suara minta tolong. Arahnya terdengar begitu dekat.
“Toloooong! Tolooong!!”


         Wajah Lisa mendadak memutih di  bawah cahaya bulan. Belasan warga berlarian melewati depan rumah Lisa. Mereka mengarah ke rumah tetangga sebelah.
            “Ada apa pak?”
            “Itu.........anak Bu Sarmi! Adongkoreng lagi!”
            Lisa mengurungkan niat masuk ke rumah. Langkah kakinya mengikuti belasan warga yang menuju rumah Bu Sarmi, tetangga Lisa yang kaya itu tapi jarang bergaul dengan warga kampung. Tapi warga kampung selama ini tidak pernah mempersoalkan hal itu. Mereka senantiasa mau saling menolong dengan tulus. Buktinya, malam ini mereka rela datang berbondong-bondong. Bu Sarmi minta tolong, itu berarti mereka harus berdatangan.
            Anak Bu Sarmi yang usianya sebaya Lisa dipegang kuat-kuat oleh beberapa orang warga. Gadis itu berontak. Ajaib, tenaganya sangat kuat. Seorang lelaki tinggi besar bahkan terjungkal.
            “hei kamu, bantu pegang kakinya!”
            “Tolong, satu orang lagi memegang tangan kanannya!”
            Namun gadis muda yang sedang kesurupan itu tampak semakin kuat saja. Entah kekuatan apa yang tengah merasuki tubuhnya.
            Dato’-dato’ itu. Ya, dato’-dato’ itu. Singkirkan benda terkutuk itu! Sekarang. Cepat! Buang jauh-jauh!” Seorang lelaki separuh baya berseru. Mulutnya komat kamit. Lelaki itu pasti seorang dukun yang didatangkan dari kampung sebelah.
            Bu Sarmi setengah berlari menghampiri sebuah boneka di atas sebuah bufet. Boneka lucu berbentuk mirip anak perempuan berambut pirang itu kini berada dalam dekapan Bu Sarmi. Perempuan itu terlihat sangat patuh terhadap si dukun. Langkahnya masih setengah berlari saat menuju keluar rumah. Lalu sekuat tenaga ia melemparkan boneka itu sejauh-jauhnya.     
            Pada malam-malam berikutnya anak Bu Sarmi tidak pernah lagi kesurupan. Entah karena mantra yang manjur dari sang dukun ataukah karena dato’-dato’ itu telah dibuang jauh-jauh oleh Bu Sarmi. Lisa penasaran sendiri.
            Baru kali ini sekujur tubuh Lisa meremang saat pandangan matanya terbentur pada sebuah boneka. Boneka itu kini tergeletak tidak berdaya di tengah semak-semak dalam kebun. Tepat di belakang rumah Bu Sarmi.
            “Benarkah boneka itu punya kekuatan gaib?”
            Rasa penasaran Lisa tak terbendung. Boneka berambut pirang sekarang berada di tangannya. Perlahan tangannya mulai membersihkan tanah dan debu yang melekat di tubuh boneka itu.
            “Masa iya sih, boneka lucu dan cantik ini bisa mengakibatkan orang kesurupan?” Batin Lisa. Ia tak habis pikir dengan ucapan si dukun tempo hari.
            Mata Lisa celingak celinguk kanan kiri kuatir ada orang yang mengetahui keberadaannya di sana. Tanpa pikir panjang boneka itu didekapnya. Langkahnya tergesa-gesa masuk ke rumah.
            Boneka perempuan berambut pirang kini memperoleh tempat paling nyaman di kamar Lisa. Ia berdiri di meja di samping rak buku. Kedua matanya yang indah seolah leluasa setiap saat bisa mengawasi apa saja yang dilakukan Lisa. Lisa sangat senang. Koleksi bonekanya bertambah lagi.
            Lisa senantiasa hapal secara detail letak setiap bonekanya. Tentu saja termasuk Si Pirang. Posisinya tetap seperti semula. Ia di atas meja dekat jam weker, di samping rak buku. Tapi pagi ini letaknya mendadak berubah. Entah siapa yang memindahkannya. Ia sekarang bersama beberapa boneka lainnya di samping vas bunga di atas meja lainnya. Tepat di samping tempat tidur Lisa.
             “Mama, kok mama memindahkan boneka Lisa? Letaknya di meja dekat rak buku sudah bagus, ma.”
            Mama kelihatan bingung mendengar ucapan putrinya.
            “Bukan mama kok yang memindahkan boneka itu, sayang. Kamu pasti lupa, kamu sendiri yang pasti memindahkannya.”
            “Kalau bukan mama, siapa dong?”
            Mama mengangkat kedua bahunya.
            “Ya sudah, kamu letakkan lagi di tempatnya. Setelah itu buruan ke sekolah.”
            Lisa heran. Mulutnya melongo. Jelas sekali Si Pirang tidak pernah ia pindahkan ke tempat lain. Konsentrasi Lisa masih terpecah dalam kelas. Pikirannya masih tertuju pada kejadian aneh di kamarnya.
            Lisa sangat terkejut bukan kepalang ketika terbangun pagi hari. Kali ini Si Pirang tidak berada lagi di atas meja melainkan berada tepat di samping Lisa.
            “Ah, masa iya sih? Aku pasti lupa. PR yang banyak pasti telah membuat pikiranku sedikit pikun.” Lisa berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Meskipun ia tahu betul, pintu kamar sengaja dia kunci dari dalam. Tidak mungkin mama yang memindahkan Si Pirang ke tempat tidur.
            “Mama punya kunci duplikat kamar Lisa ya?”
            “Tidak. Kunci kamar kamu hanya satu. Kamu sendiri yang simpan, bukan? Memangnya ada apa, sayang?”
            Pikiran Lisa sekarang dijalari kebingungan luar biasa.
            “Hei, kok melongo?”
            “Mmhh...tidak, ma. Lisa cuma mau memastikan saja bahwa hanya Lisa seorang yang menyimpan kunci kamar Lisa.”
            “Bonekanya pindah lagi ya?” Mama tersenyum menatap wajah putrinya.
            “Mmmm......tidak kok, ma.”
            “Makanya, ingat waktu dong kalau lagi belajar. Tidur terlalu larut bisa mengakibatkan pikun lho.”
           
**
            Dengan perasaan sedih Lisa memandangi Si Pirang yang kini kembali tergeletak di tengah kebun. Ia merasa harus membuat keputusan yang sulit. Ia harus membuang boneka itu kalau  dirinya lebih mementingkan pelajaran di sekolah. Setiap hari selama sepekan pikirannya harus disibukkan dengan kejadian aneh. Setiap pagi boneka misterius itu selalu saja berpindah tempat dengan sendirinya. Lisa tetap yakin bahwa pikirannya memang mulai agak pikun akibat sering belajar terlalu larut. Satu-satunya cara agar semuanya kembali berjalan normal adalah ia harus membuang boneka itu.
            “Mamaaaaaa! Mamaaaaaaa! Tolong Lisa maaaaa!”
            “Lisa! Lisa! Ada apa, sayang? Buka pintunya, nak!”
            Mama menggedor berkali-kali pintu kamar Lisa yang terkunci dari dalam.
            Sementara itu di dalam kamar Lisa. Keringat dingin Lisa mengucur. Wajahnya mendadak seputih kertas. Mata Lisa menatap tanpa berkedip ke arah meja di samping rak buku. Boneka pirang berlumuran lumpur tanah sedang berdiri di sana, menatap Lisa dengan senyum mengerikan. (*)

Tanete, 17 Oktober 2014.

0 komentar:

Posting Komentar