Malam ditimpa cahaya bulan penuh. Tak
nampak lagi bayang-bayang pohon mirip manusia di tembok pagar. Kali ini Lisa
menarik pintu pagar tanpa tergesa-gesa, tidak seperti kemarin. Bunyi mendecit
dari grendel pagar. Malam berlayar dengan tenang. Juga tidak ada salak anjing.
Ilustrasi (Foto: misteriduaniawi.blogspot.co.id) |
“Toloooong! Tolooong!!”
Wajah Lisa mendadak memutih di bawah cahaya bulan. Belasan warga berlarian
melewati depan rumah Lisa. Mereka mengarah ke rumah tetangga sebelah.
“Ada apa pak?”
“Itu.........anak Bu Sarmi! Adongkoreng lagi!”
Lisa mengurungkan niat masuk ke
rumah. Langkah kakinya mengikuti belasan warga yang menuju rumah Bu Sarmi,
tetangga Lisa yang kaya itu tapi jarang bergaul dengan warga kampung. Tapi
warga kampung selama ini tidak pernah mempersoalkan hal itu. Mereka senantiasa
mau saling menolong dengan tulus. Buktinya, malam ini mereka rela datang
berbondong-bondong. Bu Sarmi minta tolong, itu berarti mereka harus
berdatangan.
Anak Bu Sarmi yang usianya sebaya
Lisa dipegang kuat-kuat oleh beberapa orang warga. Gadis itu berontak. Ajaib,
tenaganya sangat kuat. Seorang lelaki tinggi besar bahkan terjungkal.
“hei kamu, bantu pegang kakinya!”
“Tolong, satu orang lagi memegang
tangan kanannya!”
Namun gadis muda yang sedang
kesurupan itu tampak semakin kuat saja. Entah kekuatan apa yang tengah merasuki
tubuhnya.
“Dato’-dato’
itu. Ya, dato’-dato’ itu. Singkirkan benda terkutuk itu! Sekarang. Cepat! Buang
jauh-jauh!” Seorang lelaki separuh baya berseru. Mulutnya komat kamit. Lelaki
itu pasti seorang dukun yang didatangkan dari kampung sebelah.
Bu Sarmi setengah berlari
menghampiri sebuah boneka di atas sebuah bufet. Boneka lucu berbentuk mirip
anak perempuan berambut pirang itu kini berada dalam dekapan Bu Sarmi.
Perempuan itu terlihat sangat patuh terhadap si dukun. Langkahnya masih
setengah berlari saat menuju keluar rumah. Lalu sekuat tenaga ia melemparkan
boneka itu sejauh-jauhnya.
Pada malam-malam berikutnya anak Bu
Sarmi tidak pernah lagi kesurupan. Entah karena mantra yang manjur dari sang
dukun ataukah karena dato’-dato’ itu telah dibuang jauh-jauh oleh Bu Sarmi.
Lisa penasaran sendiri.
Baru kali ini sekujur tubuh Lisa
meremang saat pandangan matanya terbentur pada sebuah boneka. Boneka itu kini
tergeletak tidak berdaya di tengah semak-semak dalam kebun. Tepat di belakang
rumah Bu Sarmi.
“Benarkah boneka itu punya kekuatan
gaib?”
Rasa penasaran Lisa tak terbendung.
Boneka berambut pirang sekarang berada di tangannya. Perlahan tangannya mulai
membersihkan tanah dan debu yang melekat di tubuh boneka itu.
“Masa iya sih, boneka lucu dan
cantik ini bisa mengakibatkan orang kesurupan?” Batin Lisa. Ia tak habis pikir
dengan ucapan si dukun tempo hari.
Mata Lisa celingak celinguk kanan
kiri kuatir ada orang yang mengetahui keberadaannya di sana. Tanpa pikir
panjang boneka itu didekapnya. Langkahnya tergesa-gesa masuk ke rumah.
Boneka perempuan berambut pirang
kini memperoleh tempat paling nyaman di kamar Lisa. Ia berdiri di meja di
samping rak buku. Kedua matanya yang indah seolah leluasa setiap saat bisa
mengawasi apa saja yang dilakukan Lisa. Lisa sangat senang. Koleksi bonekanya
bertambah lagi.
Lisa senantiasa hapal secara detail
letak setiap bonekanya. Tentu saja termasuk Si Pirang. Posisinya tetap seperti
semula. Ia di atas meja dekat jam weker, di samping rak buku. Tapi pagi ini
letaknya mendadak berubah. Entah siapa yang memindahkannya. Ia sekarang bersama
beberapa boneka lainnya di samping vas bunga di atas meja lainnya. Tepat di
samping tempat tidur Lisa.
“Mama, kok mama memindahkan boneka Lisa?
Letaknya di meja dekat rak buku sudah bagus, ma.”
Mama kelihatan bingung mendengar
ucapan putrinya.
“Bukan mama kok yang memindahkan
boneka itu, sayang. Kamu pasti lupa, kamu sendiri yang pasti memindahkannya.”
“Kalau bukan mama, siapa dong?”
Mama mengangkat kedua bahunya.
“Ya sudah, kamu letakkan lagi di tempatnya.
Setelah itu buruan ke sekolah.”
Lisa heran. Mulutnya melongo. Jelas
sekali Si Pirang tidak pernah ia pindahkan ke tempat lain. Konsentrasi Lisa
masih terpecah dalam kelas. Pikirannya masih tertuju pada kejadian aneh di
kamarnya.
Lisa sangat terkejut bukan kepalang
ketika terbangun pagi hari. Kali ini Si Pirang tidak berada lagi di atas meja
melainkan berada tepat di samping Lisa.
“Ah, masa iya sih? Aku pasti lupa.
PR yang banyak pasti telah membuat pikiranku sedikit pikun.” Lisa berusaha
meyakinkan dirinya sendiri. Meskipun ia tahu betul, pintu kamar sengaja dia
kunci dari dalam. Tidak mungkin mama yang memindahkan Si Pirang ke tempat
tidur.
“Mama punya kunci duplikat kamar
Lisa ya?”
“Tidak. Kunci kamar kamu hanya satu.
Kamu sendiri yang simpan, bukan? Memangnya ada apa, sayang?”
Pikiran Lisa sekarang dijalari
kebingungan luar biasa.
“Hei, kok melongo?”
“Mmhh...tidak, ma. Lisa cuma mau
memastikan saja bahwa hanya Lisa seorang yang menyimpan kunci kamar Lisa.”
“Bonekanya pindah lagi ya?” Mama
tersenyum menatap wajah putrinya.
“Mmmm......tidak kok, ma.”
“Makanya, ingat waktu dong kalau
lagi belajar. Tidur terlalu larut bisa mengakibatkan pikun lho.”
**
Dengan perasaan sedih Lisa
memandangi Si Pirang yang kini kembali tergeletak di tengah kebun. Ia merasa
harus membuat keputusan yang sulit. Ia harus membuang boneka itu kalau dirinya lebih mementingkan pelajaran di
sekolah. Setiap hari selama sepekan pikirannya harus disibukkan dengan kejadian
aneh. Setiap pagi boneka misterius itu selalu saja berpindah tempat dengan
sendirinya. Lisa tetap yakin bahwa pikirannya memang mulai agak pikun akibat
sering belajar terlalu larut. Satu-satunya cara agar semuanya kembali berjalan
normal adalah ia harus membuang boneka itu.
“Mamaaaaaa! Mamaaaaaaa! Tolong Lisa
maaaaa!”
“Lisa! Lisa! Ada apa, sayang? Buka
pintunya, nak!”
Mama menggedor berkali-kali pintu
kamar Lisa yang terkunci dari dalam.
Sementara itu di dalam kamar Lisa.
Keringat dingin Lisa mengucur. Wajahnya mendadak seputih kertas. Mata Lisa
menatap tanpa berkedip ke arah meja di samping rak buku. Boneka pirang
berlumuran lumpur tanah sedang berdiri di sana, menatap Lisa dengan senyum
mengerikan. (*)
Tanete, 17 Oktober 2014.
0 komentar:
Posting Komentar