Kerajaan Sapahatu diperintah oleh seorang raja yang dikenal sangat lalim terhadap rakyatnya. Raja Sapahatu
setiap sekali dalam sepekan menyelenggarakan pesta pora di istananya yang
megah. Raja berpesta minuman keras dan menikmati berbagai makanan lezat bersama
para keluarga istana dan para bangsawan kaya raya.
![]() |
Ilustrasi (Foto: bandanaku.wordpress.com) |
Setiap panen, hampir seluruh hasil bumi rakyat Sapahatu harus diserahkan kepada keluarga
istana dan para bangsawan di kerajaan tersebut. Keadaan ini berlangsung lama
sehingga lama kelamaan seluruh rakyat Sapahatu mulai merasa muak terhadap
rajanya.
“Raja adil raja disembah,
raja lalim raja disanggah,” demikian pepatah itu mulai mempengaruhi hati sebahagian besar rakyat Sapahatu. Sekelompok orang-orang yang dianggap paling
pintar di antara rakyat Sapahatu ditunjuk oleh rakyat untuk diam-diam
merencanakan pemberontakan terhadap raja.
Rencana tersebut harus
disiapkan secara matang sebab Raja Sapahatu memiliki ilmu kesaktian yang sulit
ditandingi. Konon, Raja Sapahatu hanya bisa menemui ajalnya jika dikubur dalam
keadaan masih hidup di dalam perut bumi.
Pada suatu waktu, kemarau
berkepanjangan terjadi di seluruh wilayah Kerajaan Sapahatu. Hampir tidak ada
tanaman yang dapat tumbuh. Panen di sawah, kebun dan ladang rakyat gagal total.
Keadaan ini semakin memburuk sebab Raja Sapahatu juga bertindak semakin
menjadi-jadi.
Pada saat rakyat dilanda
kelaparan dan kekurangan bahan pangan, justru raja semakin berbuat lalim
terhadap rakyatnya. Raja Sapahatu memerintahkan prajuritnya untuk menggeledah
rumah-rumah rakyat untuk mengangkut hasil bumi yang masih tersisa. Akibat
kemarau panjang, upeti rakyat juga semakin jauh berkurang. Keluarga istana juga
terancam kekurangan makanan.
Suatu hari, ratusan prajurit datang menggeledah seluruh rumah
rakyat untuk mencari hasil bumi. Namun usaha mereka sia-sia. Sebahagian besar
rakyat Sapahatu telah mengetahui rencana itu. Mereka lebih dulu menyembunyikan
hasil bumi mereka yang tersisa itu di suatu tempat rahasia.
Akibat kemarau berkepanjangan, sebahagian besar rakyat
Sapahatu memutuskan mengungsi meninggalkan tempat tinggal mereka. Pada suatu
hari mereka berbondong-bondong mencari daerah lain yang masih bisa didiami dan
memungkinkan masih ada lahan yang dapat ditanami.
Raja Sapahatu sangat murka mengetahui banyak rakyatnya
mengungsi meninggalkan kerajaan. Raja
secara langsung memimpin para prajuritnya untuk mengejar rakyatnya yang
mengungsi.
Raja Sapahatu dan sepasukan prajuritnya akhirnya berhasil
mencapai tempat di mana pengungsi Sapahatu sedang beristirahat.
“Wahai rakyat Sapahatu, aku sudah mengerti mengapa kalian
meninggalkan kerajaan, tetapi ketahuilah bahwa aku sangat menyesal dengan
kelakuanku selama ini. Oleh sebab itu, aku meminta kalian agar kembali lagi ke
Sapahatu. Aku berjanji untuk memimpin kerajaan dengan adil, arif dan
bijaksana!”
Seluruh rakyat terdiam seribu bahasa. Salah seorang di
antara rakyat Sapahatu lalu berdiri.
Orang yang sudah berusia lanjut itu nampaknya adalah orang yang paling dituakan
di antara mereka. Wajahnya juga menyiratkan kebijaksanaan.
“Raja Sapahatu, kami atas nama rakyat Sapahatu memutuskan
untuk meninggalkan kerajaan Sapahatu dan akan bermukim di tempat ini.
Ketahuilah, bahwa di tempat ini ada tempat penimbunan hasil bumi yang selama
ini kami simpan sebagai cadangan ketika kemarau datang berkepanjangan!” Kata
kakek itu dengan suara berwibawa.
Mendengar ucapan kakek itu, Raja Sapahatu langsung
melirik sebuah sumur kecil yang ditutupi ranting-ranting pohon tidak jauh dari
tempat kakek itu berdiri. Raja Sapahatu merasa
sangat penasaran dengan isi sumur itu.
Raja Sapahatu perlahan-lahan melangkahkan kaki menuju
sumur. Tiba-tiba tanpa diduga sekonyong-konyong ratusan rakyat Sapahatu bangkit
bergerak maju mengepung sang raja. Mereka serentak menangkap dan mengangkat
tubuh sang raja. Tubuh sang raja yang lalim itu langsung mereka ceburkan ke
dalam sumur.
Raja Sapahatu
masih sempat berteriak minta tolong kepada para prajuritnya. Namun para
prajurit itupun tidak berani menolong rajanya. Mereka juga dikepung oleh rakyat
yang sedang marah itu.
Secepat kilat, rakyat Sapahatu lalu menimbun sumur itu
dengan batu-batu besar yang sangat banyak. Sedemikian banyaknya batu-batu itu
hingga membumbung tinggi menyerupai bangunan di atas sumur.
Berabad-abad kemudian sumur batu tersebut banyak
dikunjungi orang-orang dari berbagai penjuru. Sumur yang ditimbuni batu-batu itu kemudian dikenal
dengan nama Sapobatu yang artinya “dikubur dengan batu” ”untuk mengenang nama
Raja Sapahatu yang dikubur hidup-hidup di tempat itu. Dewasa ini Sapobatu masih
dapat disaksikan keberadaannya di Desa Samboang, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Demikianlah, tidak ada yang abadi dalam kehidupan ini.
Setiap kekuasaan yang dilandasi kelaliman pasti akan menemui kebinasaan.(*)
0 komentar:
Posting Komentar