Sorot matanya tajam namun di balik itu terdapat
keramahan yang meruah. Suaranya tegas, kadang meledak-ledak. Seperti itu pula
jiwanya dalam berkesenian. Ia pernah
diganjar Celebes Award untuk dedikasinya terhadap teater.

Ada sebuah kenangan tersendiri
ketika penulis pernah menjadi salah seorang mahasiswanya di Fakultas Sastra
Unhas. Dalam sebuah materi kuliah yang belum tuntas, ia memutuskan untuk
menghimbau kami para mahasiswanya agar datang menonton sebuah pagelaran teater
yang saat itu akan disiarkan oleh TVRI Makassar.
Hal itu untuk membuktikan ucapannya
di kelas saat itu, ”Jika Iwan Fals sore ini datang di Karebosi, saya yakin
kalian semua akan berbondong-bondong kesana tanpa disuruh. Tapi jika saya
menyuruh kalian untuk datang menonton teater, saya tidak yakin separuh kelas
akan hadir.”
Dan benar saja, tidak lebih dari
separuh kelas kami yang datang.
Fahmi mengaku bahwa ia main
teater pada awalnya karena “dendam”. Tahun 1964 kakak kelasnya di SMA Negeri
198 Bulukumba akan menyelenggarakan acara perpisahan. Salah satu acaranya
adalah pementasan drama di bawah bimbingan Pak Emil Agus Kalalo, guru Civicsnya,yang sering menulis naskah
dan sutradara di sekolahnya.
Fahmi yang saat itu masih remaja selalu berdiri di pintu kelas tempat berlatih
saban latihan sore hari. Bukan untuk menonton, melainkan menampakkan diri agar diajak juga main.
Tapi sampai latihan terakhir, bahkan sampai pementasan selesai, dia tak pernah
ditegur.
Dalam dirinya
tumbuh “dendam”. Dia lalu menulis naskah sendiri, memanggil dan berlatih dengan
teman-temannya yang juga mau tapi tidak pernah diajak oleh guru. Mereka latihan
di berbagai tempat selama sebulan lebih tiap sore, dan akhirnya main di Gedung
Wanita Bulukumba. Prinsipnya: bagus atau tidak, hak penonton. Judulnya Dendam dan Korban, kisah cinta segi tiga
yang penuh simbahan darah. Belakangan
disadarinya, drama tersebut dipengaruhi oleh drama Ayahku Pulang karya Usmar
Ismail yang pernah dia tonton
sebelumnya.
Fahmi yang sudah jatuh cinta kepada
teater akhirnya memutuskan masuk ISBM (Ikatan Seniman Budayawan
Muhammadiyah) Bulukumba. Bermain sebagai
Aswad (tokoh pembantu) dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy
Nasution. Dalam acara perpisahan saat tamat SMA tahun 1966, main sebagai Amir
(tokoh utama) dalam drama Mereka Mulai
Menyerang karya Rahman Arge. Sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan M.
Arman Yunus, selesai pementasan ketika itu berkata:
“Kamu punya bakat main drama.”
Setelah di
Makassar diajak main oleh Saleh Mallombasi dalam drama
Montserrat (Emmanuel Robles) produksi
Teater Makassar, pimpinan produksi Arsal
Alhabsi, sutradara Rahman Arge. Latihannya 5 bulan termasuk training centre 1
bulan; general rehearsal 5 Agustus 1970, main 7 sampai 12 Agustus 1970 di
Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69. Setelah pementasan, Fahmi mendapatkan honorarium Rp
8.000,-. Fahmi menceritakan sambil tertawa, saat itu ia langsung
membeli celana saddle king (ketat, warna merah
tua). Penyerahan honorarium dilakukan di Kebun
Binatang. Dalam produksi ini, semua pemain laki-laki mendapatkan Surat Izin Gondrong dari Kapolda
Sulselra.
Fahmi banyak menulis naskah drama, di antaranya Dendam dan Korban (1964), Baja Putih (1972), Datu Museng
& Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala’ (1976), Kerikil-Kerikil (1977),
Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Almamater
(1991), Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia
Perbatasan (1995). Tiga di antaranya (Karaeng Pattingalloang, Arung
Palakka, Para Karaeng) diterbitkan oleh
Hasanuddin University Press (2005) dengan judul Trilogi Drama Teropong dan
Meriam atas bantuan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
Teater tidak dapat dipisahkan dari
Fahmi. Tercatat ia mendirikan beberapa grup teater: Latamaosandi bersama Jacob
Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilintin (1968), Yuvana
Santika bersama Manan Ibrahim (1969), Poseidon Arts Group bersama Sandy Karim
(alm.) dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977),
Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), Teater Titik-Titik bersama A. Ansar
Agus dan Salahuddin Alam (1995).
Dalam dua kali
festival teater se-Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Aktor Terbaik (1971) dan
Aktor Pembantu Terbaik (1977). Kritiknya Sinetron IS: Obsesi dalam Bahasa
Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI
(1991).
Fahmi diganjar Hadiah
Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel
(2002). Ketiganya dalam bidang penulisan, pemeranan,
dan penyutradaraan teater.
Putra dari Drs. Syariff
Saleh dan Hamidah Daeng Puji ini dilahirkan 23 Mei 1947 di Bulukumba, Sulawesi
Selatan. Menyelesaikan SR dan Ibtidaiyah (1959), SMP
(1963), SMA (1966 di Bulukumba. Menyelesaikan
School of Acting DKM (1972), Sarjana Muda Sastra Barat Unhas (1970), Sarjana
lengkap Sastra Indonesia Unhas (1994), dan Pascasarjana Unhas (2001) Di Makassar. Menjabat Ketua
I Kompartemen Pendidikan dan Pelatihan Dewan Kesenian Makasar, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unhas sejak 1985 dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar sejak tahun 2004.
Rambutnya yang kini memutih ternyata tidak pernah menghalangi semangatnya
dalam berkesenian. Ia tetap konsisten bermain teater sampai tua. (*)
0 komentar:
Posting Komentar