Warga Ammatoa dan para pelancong berbaur dalam baju hitam-hitam (Foto: Ammatoa.com) |
Pola Hidup dan Mata Pencaharian
Komunitas Ammatoa Kajang menganut pola hidup yang unik sehingga berbeda
dengan masyarakat Kajang yang berdiam di luar kawasan adat. Secara umum, pola
kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ajaran Pasang yang merupakan nilai budaya dan sosial yang mengajarkan
warganya untuk hidup sederhana.
Berdasarkan ajaran Pasang komunitas Ammatoa diwajibkan untuk hidup bersahaja dan pasrah kepada nasib. Karena ajaran yang dianut dan diwarisi secara turun temurun inilah sehingga pola kehidupan mereka hanya tumbuh secara alamiah. Kehidupan mereka relatif tidak berkembang/statis, hal ini disebabkan karena mereka dikungkung oleh tradisi yang sangat ketat. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka sangat tergantung dari alam lingkungannya. Mereka mengolah ladang dan sawah (pertanian) untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Itulah sebabnya sehingga dari segi ekonomi, komunitas adat Ammatoa Kajang masih sangat terbelakang.
Berdasarkan ajaran Pasang komunitas Ammatoa diwajibkan untuk hidup bersahaja dan pasrah kepada nasib. Karena ajaran yang dianut dan diwarisi secara turun temurun inilah sehingga pola kehidupan mereka hanya tumbuh secara alamiah. Kehidupan mereka relatif tidak berkembang/statis, hal ini disebabkan karena mereka dikungkung oleh tradisi yang sangat ketat. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka sangat tergantung dari alam lingkungannya. Mereka mengolah ladang dan sawah (pertanian) untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Itulah sebabnya sehingga dari segi ekonomi, komunitas adat Ammatoa Kajang masih sangat terbelakang.
Berbeda dengan penduduk Kecamatan
Kajang yang berdomisili di Tana Koasaya
atau komunitas non Ammatoa,
taraf kehidupannya jauh lebih maju. Ini disebabkan karena mereka
menganut pola kehidupan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang progresif.
Pola kehidupan yang mereka anut sama dengan gerak kehidupan masyarakat
Indonesia pada umumnya. Hal ini nampak pada aktifitas mereka diberbagai sektor.
Antara lain pertanian, perikanan, perdagangan dan sektor ekonomi lainnya.
Kiranya tidak mengherankan apabila masyarakat yang berdiam di luar kawasan adat
( I pantarang embaya) banyak yang
berhasil dalam usahanya. Karena keberhasilan dalam berbagai bidang usaha
tersebut sehingga banyak diantara mereka yang dapat hidup makmur.
Tallasa
Kamase-mase (Hidup Sederhana)
Telah diuraikan sebelumnya bahwa
komunitas Kajang dalam kawasan adat Ammatoa,
menganut pola hidup sederhana Tallasa
Kamase-mase (Hidup Sederhana). Pola hidup ini berhubungan dengan keyakinan Patuntung yang mereka anut, yang
tertuang dalam Pasang Ri Kajang. Dan
selanjutnya dijalankan secara ketat oleh Ammatoa
dan dibantu oleh para Galla (penghulu
adat). Bagi orang Kajang, khususnya komunitas Ammatoa / I lalang embaya, dunia ini hanya tempat persinggahan
sementara. Untuk selanjutnya menuju ke kehidupan yang kekal abadi “Riallo njorengang” (Akhirat). Itulah sebabnya mereka (Komunitas Ammatoa) tidak terpengaruh oleh
kesenangan di dunia, seperti komunitas di Tana Koasaya/ diluar kawasan adat.
Kesenangan di maksud ialah kesenangan dalam kehidupan sehari-hari seperti
makanan, pakaian, perumahan, harta benda, dan sebagainya. Mereka hanya makan
secukupnya, dari hasil pertanian seperti jagung, beras, ketela, sayur-mayur dan
sebagainya. Hidup sederhana bagi mereka adalah prinsip dasar dan idiologi dalam
kehidupannya. Tallasa Kamase-masea (hidup
sederhana apa adanya) adalah prinsip hidup komunitas Ammatoa berdasarkan ajaran Pasang
Ri Kajang. Inilah yang dipedomani mereka, sebab tujuan mereka adalah
kebahagiaan Ri Allo njorengang / di
hari kemudian.
Ada dua pedoman / pola hidup didalam Pasang yang dianut komunitas adat Ammatoa yaitu :
1. Anre
kalumannyang kalupepeang ; Rie kamase-masea, anggare narie’, bola situju-tuju,
care-care narie’, koko narie’, pammali juku ‘narie’. Artinya kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya
kesederhanaan, makan secukupnya, rumah sederhana, pakaian seadanya, kebun
secukupnya, pembeli ikan secukupnya.
Pola hidup sesuai ajaran Pasang tersebut,
merupakan gambaran nyata bahwa komunitas Ammatoa
Kajang menganut prinsip hidup apa adanya. Yang penting bagi mereka adalah
kebutuhan primer dapat terpenuhi.
2. Ammentengko
nukamase-mase, accidongko nukamase-mase, a’dakako nukamase-mase, a’miakko
nukamase-mase,. Artinya berdiri
engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana dan
berbicara engkau sederhana. Ajaran pola hidup tersebut mengharuskan warganya
untuk bersikap sederhana dalam segala hal.
Ajaran Pasang tersebut di atas itulah yang menjadi keyakinan dan pola
hidup komunitas Ammatoa Kajang. Semua
aspek kehidupan seperti makanan, pakaian, kebun, rumah menjadi serba sederhana/
dan tidak berlebihan, termasuk pemanfaatan sumber daya alam.
Mata
Pencaharian
Masyarakat Kajang pada umumnya
mempunyai mata pencaharian bercocok tanam dan beternak hewan, termasuk
komunitas adat Ammatoa. Dalam
kegiatan pertanian komunitas Ammatoa memanfaatkan
tanah semaksimal mungkin untuk diolah menjadi lahan pertanian. Jadi, sistem
pertanian yang mereka anut ialah menggunakan lahan secara intensif,. Artinya
mereka memanfaatkan lahan dengan areal terbatas, tetapi dengan produksi yang
maksimal. Dalam usaha untuk penyuburan tanah, mereka anggap tabu menggunakan
pupul pabrik (an organik). Pada umumnya mereka memupuk tanamannya dengan pupuk
kandang. Lahan pertanian mereka sangat terbatas, disebabkan oleh aturan adat
untuk tidak lagi membuka lahan pertanian baru. Kalau membuka lahan prtanian
baru, berarti mereka harus membabat hutan. Dan apabila membabat hutan untuk
lahan pertanian, dapat dianggap melanggar Pasang.
Hal ini berkaitan dengan usaha menjaga / melestarikan ekosistem lingkungan
/ hutan. Pada dasarnya semua lahan yang berada di dalam kawan adat Ammatoa merupakan milik adat. Tidak ada
seorang wargapun yang berani melanggar aturan. Sebab siapa yang melanggar akan
dikenai sangsi berat yang diputuskan secara adat “a’borong” (Musyawarah).
Di dalam kawasan adat Ammatoa, terdapat wilayah yang digunakan
sebagi lahan untuk menanam padi. Akan tetapi lahan sawah tersebut masih
merupakan sawah tadah hujan, yang mereka sebut Galung Langi’. Artinya sawah yang masih tergantung dari curah hujan
dari langit. Itulah sebabnya sehingga kebanyakan penduduk Tana Kamase-maseamelakukan pertanian berladang / berkebun
(tegalan). Komoditas yang mereka tanam ialah jagung, ketela, kacang tanah,
ketela rambat, sayur-mayur, dan sebagainya. Oleh karena lahan mereka terbatas,
sehingga hasil pertanian yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari.
Adapun binatang ternak yang dipelihara
komunitas adat Ammatoa Kajang ialah
kuda, kerbau, sapi, kambing, dan unggas. Mereka memelihara kuda tujuan utamanya
untuk kebutuhan kendaraan di dalam kawasan adat, serta sarana angkutan hasil
kebun. Satu-satunya kendaraan didalam kawasan adat ialah kuda. Hal ini
disebabkan karena sesuai ajaran Pasang tidak
ada satu jenis kendaraanpun yang diperbolehkan masuk dalam kawasan adat. Adapun
ternak kerbau dan sapi dimanfaatkan untuk menarik bajak (luku) untuk mengolah
ladang. Selanjutnya apabila mereka membutuhkan biaya untuk sesuatu kegiatan/
selamatan dan sebagainya, maka binatang ternaklah yang dijual untuk kebutuhan
tersebut.
Selain tanaman semusim yang mereka
tanam, penduduk kawasan adat Ammatoa juga
menanam tanaman jangka panjang. Tanaman dimaksud antara lain ialah kelapa, nangka, langsat, sagu, enau/ aren dan
lain-lain. Hasil tanaman jangka panjang inilah yang mereka jual untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dari kelapa misalnya selain buahnya di jual
langsung juga sebagian dijadikan minyak goreng. Enau / aren niranya disadap
untuk dijadikan minuman (tuak) dan sebagaian lagi dimasak untuk dijadikan gula
aren. Gula aren inilah yang dijual untuk menambah penghasilan demi mencukupi
kebutuhan hidup mereka. Demikian halnya dengan hasil tanaman jangka panjang
lainnya, disamping di konsumsi, juga sebagian hasilnya dijual di pasar
tradisional terdekat.
Selain bertani seperti telah diuraikan
sebelumnya. Sebagian penduduk komunitas Ammatoa
adapula yang berprofesi sebagi nelayan. Hanya saja dalam melakukan
aktifitas mereka sebagai nelayan mereka masih terikat pada paham tradisional.
Peralatan yang mereka pergunakan masih
sangat terbatas pada peralatan tradisional seperti sero, bubu, jala, jaring dan
peralatan tradisional lainnya. Hasil perikanan mereka sebagian dikonsumsi
sendiri, dan selebihnya dipasarkan baik di dalam kawasan adat, maupun diluar
kawasan adat.
Suatu keistimewaan bagi komunitas ini,
ialah untuk mengendalikan kegiatan mereka sehari-hari, ada perangkat adat yang
disebut Galla Maleleng. Pemangku adat
inilah yang mengatur nelayan dalam profesinya agar tidak terjadi perselisihan.
Juga perangkat yang satu ini, mengawasi para nelayan agar tidak melanggar Pasang. Sebab salah satu butir Pasang menyebutkan “Ako attuha kaloro”, yang berarti nelayan dilarang menggunakan
racun dalam melakukan profesinya. Hal ini erat kaitannya dengan usaha
pelestarian sumber daya alam, agar dapat memberikan hasil yang berkelanjutan.
Khusus dalam bidang perikanan ini, ada satu upacara adat yang disebut “Upacara Attaharu bente”. Upacara ini
dilaksanakan sebagai doa (permohonan) kepada Tu Rie’ A’ra’na (“Tuhan”) agar hasil perikanan melimpah.
Kegiatan
Menenun
Penduduk laki-laki dalam kawasan adat Ammatoa bertani dan beternak, sedangkan
kaum perempuannya beraktifitas bertenun. Mereka menenun kain untuk dipergunakan
sendiri seperti sarung, pakaian dan lain sebagainya. Alat tenun yang dipergunakan
masih sangat sederhana dan tradisional.
Dahulu benang yang ditenun dipintal
sendiri (dengan alat pemintal yang juga sangat sederhana), namun sekarang sudah
dapat dibeli di pasar tradisional. Benang yang sudah dibeli diwarnai dengan
bahan pewarna dari alam. Bahan pewarnaannya berasal dari sejenis tanaman yang
mereka sebut tarung, berasal dari
sejenis tanam disekitar pemukiman. Daun tarung
dicampur dengan sejenis buah dari tumbuhan pantai/ rawa yang mereka sebut Tongke. Tongke adalah sejenis tumbuhan
mangrove yang memiliki buah berbentuk bulat panjang mirip buah kelor.
Buah Tongke yang dipungut dari hutan bakau, dipotong-potong lalu
dijemur. Kemudian daun tarung yang
telah dipetik direndam ke dalam air. Kedua jenis bahan tersebut kemudian
dicampur, lalu dimasukkan ke dalam wadah, yang terbuat dari tanah liat/
gerabah. Selanjutnya bahan ini diendapkan di bawah kolong rumah dengan maksud
agar tidak terkena sinar matahari lansung.
Proses pewarnaan dilakukan pada waktu
pagi hari sebelum matahari terbit dan sore hari sekitar pukul 17.00. Hal ini
dimaksudkan untuk memperoleh kualitas warna (hitam) yang bagus. Benang yang
akan di warnai dicelupkan ke dalam wadah yang sudah diberi warna dari kedua
jenis bahan tadi. Untuk memperoleh warna yang lebih baik, biasanya sambil
dicelupkan ke dalam wadah, benang tersebut di remas-remas berulang kali.
Semakin lama benang tersebut dicelupkan ke dalam wadah sambil diremas-remas akan
semakin baik pula kualitas warna yang dihasilkan.
Setelah proses pencelupan, selanjutnya
benang dijemur di bawah kolong rumah sampai kering. Setelah kering barulah dirajut
dan selanjutnya ditenun untuk dijadikan kain sarung khas Kajang Le’leng (Kajang
hitam). Proses penenunan kain ini memakan waktu beberapa minggu. Dengan warna
khas hitam dan sedikit garis-garis putih, sarung khas Kajang ini laku dijual
dengan harga Rp.200.000-Rp.300.000 per lembar. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar