Ia diganjar penghargaan Celebes Award
dari Gubernur Sulawesi Selatan di Bidang Kebudayaan pada Desember 2007. Obsesi,
pengetahuan, pemikiran dan kekhawatirannya terhadap kepunahan Pinisi yang asli
dimuntahkannya ke dalam bentuk beberapa buku.
Budayawan dari Bulukumba yang paling getol berbicara tentang pinisi adalah
Muhammad Arief Saenong. Obsesi, pengetahuan, pemikiran dan
kekhawatirannya terhadap kepunahan Pinisi yang asli dimuntahkannya dalam bentuk
beberapa buku. Selama puluhan tahun di dunia literasi, ia telah mengabdikan
pengetahuannya untuk berbagi dengan kita terkait Pinisi.
Muhammad
Arief Saenong adalah juga seorang pensiunan guru. Lahir di tengah komunitas Panritalopi di Ara, Bontobahari Kabupaten Bulukumba, 14 Juni 1942.
Menyelesaikan SR (SD) di tanah kelahirannya; SMP di Bulukumba, SGA di Pare-Pare
(1963); PGSLP Seni Rupa di Makassar (1969) dan STKIP Muhammadiyah di Bulukumba
(1983).
Sejak 1 Oktober 1963 menjadi guru SD di Tanah Beru Bulukumba, tetapi dua
tahun kemudian ditinggalkannya untuk keluar propinsi dengan profesi sebagai
pembuat perahu pinisi. Setelah menyelesaikan PGSLP di Makassar,
ia mengajar di SPG Negeri Bulukumba (1970) dan juga mengajar pada beberapa SLTA
Negeri maupun Swasta di Bulukumba (1980-1997). Sejak Agustus 1991 menjadi
Penilik Kebudayaan sampai pensiun pada 1 Nopember 2001.
Pada 1992 pemerhati budaya khususnya pinisi ini mendapat kepercayaan
menjadi narasumber dan memandu pembuatan film dokumenter “Adat Pembuatan
Pinisi” oleh Pustekkom Depdikbud.
Pada
2001, bukunya yang berjudul “Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” diterbitkan
oleh Proyek Pembinaan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan. Pada
Nopember 2007, memenangkan sayembara penulisan naskah buku nonfiksi yang
diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas dengan judul “Pinisi Perahu
Tradisional Bugis Makassar” . Sebulan kemudian, Desember 2007 ia diganjar
penghargaan “Celebes Award” dari Gubernur Sulawesi Selatan di Bidang
Kebudayaan. Tahun 2010 ia menulis buku Komunitas Ammatowa dan Pasang Ri Kajang.
Buku karyanya “Pinisi: Paduan Teknologi
dan Budaya” merangkum simpulan awal beberapa pakar bahwa buku tersebut
merupakan referensi terlengkap tentang pinisi.
Meskipun
pendapat dari beberapa ahli mengungkapkan bahwa buku tersebut masih jauh untuk
disebut sebagai referensi ideal tentang pinisi, namun buku itu telah berhasil merefresh wawasan kita terutama kaitannya
dengan mitos pembagian pengetahuan teknik pembuatan perahu. Buku itu juga
mencerminkan asal penulisnya, Ara yang merupakan asal pembuat perahu.
Dalam
mitos dikemukakan, bahwa ada tiga kampung yang masing-masing memiliki
keterampilan: orang Ara lihai membuat bagian dasar perahu, orang Lemo-lemo
trampil menghaluskan, dan orang Bira melayarkannya.
“Buku
itu saya tulis sebagai bentuk kecintaan saya terhadap perahu pinisi. Pinisi
sekarang sudah punah, yang ada sekarang ini disebut perahu layar motor. Begitu
cintanya saya kepada pinisi, saya pernah meninggalkan profesi guru agar bisa
menjadi tukang perahu,” ungkap Muhammad Arief Saenong dalam salah satu
wawancara.
Budayawan
Bulukumba yang pernah menulis makalah dengan judul “Pinisi Riwayatmu Dulu,
Terabaikan Sekarang” ini dalam berbagai
kesempatan yang dimilikinya tetap berupaya untuk banyak menjelaskan kepada kita
seputar sejarah pinisi sebagai salah satu warisan budaya Bulukumba. Mulai dari
asal usul atau legendanya, proses penciptaan perahu Pinisi, tradisi dan
budayanya, sampai kepada kepunahan perahu Pinisi yang diakibatkan oleh
motorisasi yang digunakan dalam perahu.
“Saya pernah menyarankan kepada Pemda Bulukumba untuk menganggarkan
pembuatan perahu Pinisi dalam bentuk aslinya, sehingga dapat menjadi aset
budaya yang sangat berharga” ungkap Arif Saenong.
Menurut
Muhammad Arief Saenong, perahu pinisi klasik generasi terakhir yang dibangun di
Tanah Beru, dibuat pada 1974 milik H. Abdul Wahab, seorang pengusaha perahu
dari Bira. Ada dua buah pinisi yang dibangun pada waktu itu masing-masing
berkapasitas 200 GT. Sedangkan pinisi (asli) generasi terakhir yang dibangun di
Ara dibuat pada 1974 milik H. Emba. Pinisi yang berkapasitas 200 GT itu
diluncurkan pada Juni 1974.
Bila merujuk pada apa yang dituliskan Muhammad Saenong bahwa pembuatan
perahu pinisi yang tergolong ramai pada zamannya ialah di Cappa Ujung
(Pare–Pare). Antara 1950- an sampai akhir 1960-an, puluhan tukang perahu
menetap tinggal di tempat ini mengerjakan pinisi dan jenis perahu lainnya dari
berbagai ukuran milik pengusaha setempat. Salah satu perusahaan di Kodya
Pare–Pare (PT Duta Pare) milik Kuneng Bau Massepe’ pernah memesan perahu
sebanyak 7 buah yang pembangunannya dikoordinir oleh Panrita Dg. Baso Cinda.
Salah
satu dari ke tujuh perahu yang dibangun perusahaan tersebut dibuat dengan type pinisi
dalam bentuk aslinya tetapi didesain untuk perahu layar motor (PLM). Menurut
penuturan para tukang saat itu (1962) inilah pinisi yang pertama menggunakan
mesin. Dengan pemakaian mesin tersebut, oleh tukang ahli dilakukan penyesuaian
pada bagian belakang ujung lunas dengan memasang linggi tegak lurus (tiang bos)
untuk tumpuan as baling–baling. Pada ketinggian tertentu barulah dipasang
Sotting belakang. Pembuatan pinisi yang dimotorisasi ini dengan bobot 30 GT
ditangani oleh panrita Alla Raja.
Dan, jauh sebelum itu, menurut Muhammad Arief Saenong bahwa pada tahun
1972 di Bulukumba pernah dibangun dua buah perahu pinisi yang dimotorisasi atas
bantuan presiden waktu itu dan dikerjakan oleh Panrita Inga’ Dg. Raja. Proyek
ini diberi nama “Proyek Toddo’puli” yang merupakan salah satu upaya pemerintah
untuk melestarikan perahu pinisi yang mulai mengalami kelesuan. Sehubungan
dengan proyek Toddo’puli, ada enam buah pinisi yang dimotorisasi dibuat di
Sulawesi Selatan. Dua di antaranya dibangun di Jeneponto (Pallengu dan Nasara)
dan empat lainnya dibangun masing-masing satu buah di Takalar; Mamuju; Bone;
dan Bulukumba. Pada 1979 di Pallengu pernah pula di bangun sebuah perahu pinisi
yang diberi nama “Sinar Habibie” dan peluncurannya disaksikan langsung oleh
B.J. Habibie selaku Menristek waktu itu.”
Besarnya potensi budaya yang ada di Bulukumba memunculkan banyaknya usul
dari berbagai pihak, salah satunya adalah Muhammad Arief Sanong yang
mengharapkan kehadiran museum di Bulukumba. Kehadiran museum dirasa semakin
mendesak guna melestarikan sumberdaya budaya tersebut mengingat budaya
mempunyai sifat yang langka, tidak dapat diperbaharui, rapuh dan tidak
tergantikan.
Melalui
museumlah kita dapat merungkap kebudayaan Indonesia secara visual serta makna
dari nilai-nilai budaya, sehingga masyarakat dapat menapaki perjalanan sejarah
bangsanya atau daerahnya.
Selain itu melalui museum, masyarakat dapat belajar berbagai sistem
nilai budaya nenek moyangnya, kearifan lokal, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta karya seni sebagai bukti kreativitas masyarakat masa lalu.
Museum juga dapat membentuk jati diri bangsa, membangkitkan rasa cinta tanah
air dan membangun rasa kesatuan bangsa. Sumberdaya budaya yang berada dalam
sebuah museum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologis, akademik dan
ekonomik. Sisi ideologis itu akan berbicara tentang jati diri, karakter dari
suatu daerah atau bangsa, sementara manfaat ekonominya akan berbicara tentang
dampak benefit yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya budaya. (*)
0 komentar:
Posting Komentar