Muslim Rohingya mengalami berbagai
penindasan di Myanmar sejak tahun 1942 hingga kini. Sejarah mencatat Muslim
Rohingya telah bermukim di Arakan sejak tahun 877 M ketika Islam masuk ke seluruh
Burma atau Myanmar pada Masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Ada banyak bukti yang
menegaskan bahwa warga Muslim Rohingya adalah penduduk asli Myanmar yang
tinggal di Arakan, mulai dari koin yang dijadikan mata uang, bangunan masjid
dan beberapa artefak lainnya.
Namun, pada 1824 Inggris yang
bersekutu dengan Kerajaan Budha datang dan menjajah Burma. Kemudian, pada 1982
terjadi penghapusan kebangsaan kaum muslimin. Sebelumnya diawali dengan
pembantaian kaum muslimin lebih dari 100 ribu muslim pada 1942. Parahnya,
penindasan ini masih belum selesai hingga kini.
Seorang sejarawan bernama Khalilur
Rahman mengatakan, kata "Rohingya" berasal dari bahasa Arab yaitu
"Rahma" yang berarti pengampunan. Sejarawan itu menelusuri pula
peristiwa kecelakaan kapal pada abad ke-8, tepatnya pada saat kapal Arab
terdampar di Pulau Ramree (perbatasan Burma dan Bangladesh).
Pada saat itu, para pedagang keturunan
Arab itu terancam hukuman mati oleh Raja Arakan. Mereka memberontak dan
berteriak "Rahma." Penduduk Arakan kesulitan untuk menyebut Kata
"Rahma" mereka justru menyebut "Raham" (kasihanilah kami)
dari "Raham" kata itu berubah menjadi "Rohang" dan akhirnya
menjadi "Rohingya." Namun sejarah itu ditepis oleh mantan Presiden
dan Sekretaris Konferensi Muslim Arakan, Jahiruddin Ahmed dan Nazir Ahmed.
Ahmed mengklaim, kapal yang terdampar di Ramree adalah kapal milik warga Muslim
Thambu Kya, yang tinggal di pesisir pantai Arakan. Merekalah warga Rohingya
yang sebenarnya, dan mereka merupakan keturunan warga Afghanistan yang tinggal
di Ruha.
Sejarahwan lain bernama MA Chowdhury
memiliki pendapat lain mengenai asal usul Rohingya. Chowdhury yakin, di antara
warga Myanmar, ada populasi Muslim yang bernama "Mrohaung." Warga itu
berasal dari Kerajaan Kuno Arakan dan nama "Mrohaung" diubah menjadi
"Rohang."
Sementara itu sejarahwan asal Myanmar,
Khin Maung Saw menjelaskan, warga Rohingya tidak pernah muncul dalam sejarah
Myanmar, sebelum tahun 1950. Sejarahwan Myanmar lainnya juga yakin, tidak ada
kata "Rohingya" dalam sensus penduduk 1824, yang dilakukan oleh
Inggris. Klaim baru pun muncul dari Universitas Kanda yang menyebutkan bahwa
warga Rohingya merupakan keturunan dari bangsa Benggala yang bermigrasi ke
Burma pada dekade 1950an. Mereka melarikan diri di era kolonialisme. Bersamaan
dengan itu, Dr. Jacques P mengatakan bahwa penggunaan kata "Rooinga"
sudah ada pada abad ke-18, dan kata itu dipublikasikan oleh seorang warga
Inggris.
Menurut sejarah, peradaban Muslim di
Arakan sudah ada pada abad ke-8, tepatnya di saat pedagang Arab tiba di Asia.
Mereka bermukim di Kota Mrauk-U dan Kyauktaw, wilayah itu saat ini dipenuhi
oleh etnis Rohingya. Tepat pada 1785, Burma menguasai Arakan dan sekira 35 ribu
warga Arakan kabur ke wilayah Chittagong yang dikuasai Inggris. Mereka
menyelamatkan diri dari penindasan Burma dan meminta perlindungan tehradap
Inggris. Di bawah perlindungan Inggris, warga Arakan diminta untuk membantu
Inggris dalam bidang pertanian. Mereka diminta untuk bermigrasi ke sebuah
lembah di Arakan dan bercocok tanam. Perusahaan Hindia Timur Britania meluaskan
kontrol administrasi Benggala di Arakan.
Pada abad ke-19, ribuan warga Benggala
di Chittagong bermukim di Arakan untuk mencari pekerjaan. Sementara itu,
beberapa etnis Arakan juga tinggal di Benggala. Populasi warga Muslim Arakan
semakin meningkat dan hal itu dibuktikan lewat sensus Inggris 1891.
Genosida
Terhadap Muslim Rohingya
Human Rights
Watch melaporkan lebih dari 1.200 rumah di desa-desa yang dihuni oleh muslim
Rohingya rata dengan tanah, peristiwa ini terjadi dalam kurun 10-18 November
2016. HRW sebelumnya telah merilis gambar satelit yang mengidentifikasi 430
rumah hancur terbakar di tiga desa di Rakhine pada tanggal 13 November. Sampai
saat ini belum jelas berapa jumlah korban yang tewas, baik ditembak maupun
disiksa akibat serangan militer Myanmar ke Rakhine “rumah” bagi muslim
Rohingya. Ada yang mengatakan 70 orang tewas, ada pula yang mengatakan 86 orang
atau lebih dibantai. Sementara banyak laporan juga yang menyatakan 400 muslim
Rohingya ditangkap sejak wilayah mereka dikepung.
Ironisnya
pemerintah Myanmar terus membantah dan menyangkal bahwa telah terjadi genosida
terhadap komunitas muslim Rohingya. Juru Bicara Kepresidenan Myanmar Zaw Htay
mengatakan, militer tak membakar dan menghancurkan rumah-rumah suku Rohingya.
Mereka juga tak memperkosa wanita Rohingya. “Kami akan bekerja sama dengan
media untuk membahas isu-isu yang sensitif di masa depan,” ujarnya
(Republika.com). Faktanya pemerintah Myanmar dengan menggunakan militernya
telah melakukan eksekusi, penyiksaan, dan pemerkosa di Rakhine.
Aung San Suu
Kyi, pemimpin pemerintahan Myanmar secara de facto hanya bungkam terhadap pembantaian yang telah
terjadi selama bertahun-tahun ini. Sikap yang memalukan, mengingat Aung San Suu
Kyi adalah peraih Nobel Perdamaian sementara rakyatnya tengah dibantai oleh
negaranya sendiri. Kecaman pun datang dari dunia internasional yang kecewa
dengan sikap Suu Kyi yang terkenal selalu diam menanggapi derita komunitas
muslim Rohingya.
Diketahui
3000 muslim Rohingya mengungsi ke China, sementara mereka yang tiba di
Bangladesh dengan perahu, ditolak dan didorong pergi oleh Penjaga Perbatasan
Bangladesh karena dianggap imigran ilegal yang tidak memiliki kewarganegaraan.
Kini mereka terombang-ambing di lautan tanpa arah dengan kekurangan bekal dan
bermodal pakaian yang melekat di tubuhnya. Mereka tak mungkin kembali ke
Rakhine untuk mengantarkan nyawa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Malaysia.
Padahal penguasa mereka adalah seorang muslim, membantu mereka dengan memberi
makanan, tempat tinggal dan pakaian adalah kewajiban syar’i sebagai sesama
muslim, termasuk mencegah intimidasi dari militer Myanmar.
Sikap
pemerintah Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia pun tak jauh beda.
Semestinya Indonesia mengirimkan pasukannya untuk menghalangi pemerintah
Myanmar untuk tidak membunuh, membakar harta dan rumah muslim Rohingya serta
menyelamatkan mereka dari genosida yang dilakukan militer Myanmar. Bukan hanya
lewat jalur perundingan dan diplomasi yang selama ini dilakukan.
Nasionalisme
semu telah memudarkan dan menghilangkan rasa persaudaraan sesama muslim yang
terikat kuat oleh Aqidah Islam. Sekat nasionalisme yang diciptakan oleh Barat
sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam yang terakhir -Daulah Utsmaniyah
Turki- telah berhasil mengkotak-kotakan negeri-negeri muslim menjadi 50
lebih negara bangsa. Inilah yang menjadi salah satu penyebab pudar dan
hilangnya rasa kepedulian terhadap saudara muslim dibelahan bumi yang lainnya.
Padahal 14 abad yang lalu Rasulullah saw telah mengingatkan kaum muslimin bahwa
sesama muslim adalah saudara. Mereka ibarat satu tubuh di mana jika ada satu
bagian tubuh yang sakit maka bagian tubuh yang lain ikut merasakan sakitnya.
Penguasa
negeri-negeri muslim tampak tak serius menangani derita muslim Rohingya. Jalur
perundingan dan diplomasi terbukti gagal dalam menyelesaikan persoalan Rohingya
karena sampai saat ini Rakhine terus saja bergejolak. Mereka seolah berlepas
tangan dan menyerahkannya kepada masyarakat Internasional. Nyatanya organisasi
Internasional seperti PBB tidak menyelesaikan masalah apapun. Sebagai contoh,
masalah Palestina masih dalam naungan PBB hampir enam puluh tahun lamanya dan
sampai kini masih jalan ditempat bahkan masalah Palestina semakin kompleks.
Mereka menegaskan bahwa muslim Rohingya adalah kelompok yang menerima perlakuan
terburuk di dunia dan bahwa yang menimpa muslim Rohingya adalah preseden buruk
bagi penegakkan HAM dunia. Mereka hanya mengecam tanpa mengambil tindakan untuk
menghentikan tindakan pemusnahan etnis Rohingya yang dilakukan pemerintah
Myanmar. Sungguh peristiwa ini telah membuka mata dan hati kita serta
menyingkap kedustaan dan kepalsuan dari propaganda Barat. Sudah saatnya bagi
kita harus mengambil sikap sebagai mukmin yang benar.(*)
*diolah dari berbagai sumber