Penduduk,
Agama dan Kepercayaan
Jumlah penduduk Kecamatan Kajang ±
39.800 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 8200 orang merupakan penduduk
kawasan adat Ammatoa. Selebihnya
adalah kelompok masyarakat non Ammatoa
yang berdomisili diluar kawasan Adat atau di Tana Koasaya.
![]() |
Salah satu Kesenian Tradisional Ammatoa (Foto: flickr.com) |
Antara dua kelompok masyarakat
tersebut, terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Misalnya dari segi
pendidikan, komunitas Ammatoa masih
jauh terbelakang dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang berdiam di Tana
Koasaya.
Adapun agama / kepercayaan menurut
catatan di kantor Kecamatan Kajang, penduduk kecamatan ini 100% memeluk agama
Islam. Berdasarkan data tersebut, berarti komunitas adat Ammaota yang tinggal di dalam kawasan Tana Kamase-masea juga seluruhnya beragama Islam.
Walaupun komunitas adat Ammatoa tergolong sebagai “Penganut
Agama Islam” namun pelaksanaan syariat Islam hampir tidak pernah dilaksanakan.
Seperti misalnya shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat, hampir tidak ada
yang melaksanakannya. Apalagi ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah. Tetapi sangat mengherankan
mereka tidak mau menerima kalau disebut bukan Islam. Hal ini menimbulkan sifat
paradoksial. Ini merupakan akibat dari bentuk pengamalan Islam masih diwarnai
kepercayaan animisme yang diwarisi dari leluhur mereka.
Menurut Yusuf Akib, komunitas adat Ammatoa meskipun mengaku beragama Islam
akan tetapi lebih cenderung memahami Islam dari segi hakekat. Ajaran Islam dilaksanakan hanya terbatas pada pengucapan
dua kalimat syahadat, Kallong Tedong
(Penyembelihan Hewan). Selanjutnya Katimboang
Tau (Upacara Pernikahan), Kala’busang Amuru (dalam hal kematian) dan Passunna’kang (Khitanan).
Berdasarkan keterangan tersebut di
atas, berarti syariat Islam tidak dilaksanakan, kecuali pada tata cara
perkawinan, kematian, dan khitanan. Mereka masih memegang teguh kepercayaan
animisme, percaya adanya kekuatan pada benda-benda tertentu dan terhadap
roh-roh nenek moyang.
Seperti disebutkan di atas bahwa
kepercayaan animisme masih mewarnai kehidupan komunitas adat Ammatoa. Itu sebabnya sehingga kualitas
keberagaman Islamnya masih membaur dengan unsur spiritual tradisional. Paham
keagamaan mereka di manfaatkan dalam perilaku sehari-hari yang disebut
kepercayaan Patuntung.
Kepercayaan Patuntung yang dianut komunitas adat Kajang merupakan perkawinan
antara budaya spiritual tradisional dengan Islam. Ada ungkapan yang menguatkan
betapa sinkretisasinya/ diseimbangkannya kepercayaan Patuntung dengan Islam. Dalam Pasang
disebutkan “Guru sara’tanga tappa ri
Patuntunga tala assai kasallanganna” selanjutnya “ Guru patuntung tanga tappa ri guru sara’ tala assai kapatuntunganna”.
Ungkapan dalam Pasang tersebut
bermakna ulama yang tidak percaya kepada (kepercayaan) Patuntung, tidak sah pengetahuannya (tentang ajaran Islam) dan
seorang (guru) Patuntung yang tidak
percaya kepada ulama, tidak sah ke Patuntungannya”.
Kehidupan keagamaan yang mendua inilah
yang terdapat di dalam kawasan I lalang
embaya (komunitas adat Ammatoa).
Kegemaran
dan Kesenian
Meskipun komunitas adat Ammatoa menganut pola hidup Tallasa kamase-mase (hidup sederhana),
namun mereka tetap memiliki rasa keindahan dan apresiasi tinggi terhadap kesenian.
Perasaan keindahan itulah yang diekspresikan dalam bentuk kegemaran dan
ungkapan seni lainnya. Hanya saja, menurut ketentuan ajaran pasang, bentuk-bentuk kesenian dalam
masyarakat tidak untuk kebutuhan hiburan, apalagi untuk dikomersilkan. Bahkan
dahulu, kesenian mereka merupakan bagian dari kegiatan ritual tertentu.
Kesenian basing-basing misalnya,
lantunan syair yang dikomunikasikan vokalis dengan iringan suling, merupakan
mantera/ doa untuk kegiatan ritual tertentu.
Di dalam kawasan adat Ammatoa ada beberapa kegemaran maupun
bentuk kesenian. Kegemaran dan kesenian itu antara lain sabung ayam, pencak
silat, main gendang, tari pa’bitte passapu, musik basing-basing dan sebagainya.
Bentuk-bentuk kesenian mereka kurang beragam itupun hanya bersifat temporer,
yang ditampilkan pada kegiatan tertentu. Pencak silat misalnya biasanya diadakan
pada acara perkawinan, penjemputan tamu terhormat atau dalam rangkaian pesta
adat.
Mengenai kesenian masa kini baik musik
maupun tari, sesuai ajaran Pasang anak-anak dilarang meniru orang luar kawasan
adat. Peniruan terhadap bentuk kesenian dan kegemaran lainnya sebagaimana
biasanya, dianggap bertentangan dengan prinsip hidup bersahaja. Sejak dahulu
mereka mentabukan pola hidup yang dipengaruhi oleh ragam bentuk kesenian dan
semacamnya.
Namun belakangan ini, keadaan seperti
yang digambarkan di atas sudah mulai mengalami pergeseran. Contohnya tari pa’bitte passapu dan musik basing-basing
sejak beberapa tahun lalu sudah dipertontonkan diluar kawasan adat. Penampilan
kedua bentuk kesenian tersebut bukan hanya di Ibukota kecamatan, kabupaten
maupun provinsi, tetapi bahkan sudah ditampilkan di Ibukota negara, Jakarta.
Tari pa’bitte passapu, dan musik basing-basing misalnya, pada Tahun 1988
telah ditampilkan di TMII Tanggal 24 April 1988. Bahkan dalam rangka hari jadi
TMII, Sulawesi Selatan menampilkan pesona budaya dari Kabupaten Bulukumba. Pada
acara itulah ditampilkan upacara adat Attahuru
Bende, dan Sendratari Panrita Lopi.
Penampilan kesenian/ ragam budaya
merupakan bukti bahwa kesenian khas dari kawasan adat Ammatoa, tidak lagi terisolasi seperti dahulu. Dia tidak lagi
terbelenggu oleh tradisi yang sangat ketat seperti dahulu. Untuk hal-hal
tertentu, komunitas adat Kajang sudah mulai “membuka diri” dan beradaptasi
dengan dunia luar. Hal ini merupakan fakta bahwa mereka bukanlah suku terasing
atau terpencil seperti pendapat sebagian kalangan. Dengan keterbukaan ini
diharapkan dapat berimplikasi pada kegiatan lainnya, sehingga komunitas ini
dapat tersentuh oleh perubahan. Yang pada gilirannya kesejahteraannya dapat
ditingkatkan seiring dengan pertumbuhan kesejahteraan rakyat Indonesia pada
umumnya. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar