Sabtu, 29 Oktober 2016

Ammatoa (10): Attahuru Bente



Upacara Adat Attahuru Bente
Menurut Pasang Ri Kajang salah satu ciri keberhasilan pemerintah, ialah nakajari tinanang, napanaiki juku’ sumahe. Artinya tanaman / pertanian berhasil, dan hasil ikan melimpah.

Terkadang pada suatu musim, masyarakat Kajang mengalami suatu masa paceklik. Kegiatan masyarakat pada umumnya tidak berhasil, baik usaha dibidang pertanian, perkebunan maupun usaha dibidang perikanan. Dalam keadaan seperti itu, diamanahkan dalam Pasang agar pemangku adat (Ammatoa) mengadakan upacara. Esensi dari  pada upacara dimaksud ialah aknganro (meminta do’a) Kepada Tu Rie’ A’ra’na (yang berkehendak / Tuhan) mereka. Tujuannya ialah agar diturunkan rezeki kepada penduduk.
Upacara Attahuru Bente, adalah upacara khusus untuk meminta do’a, dengan harapan rezeki  dan usaha warga melalui  laut (perikanan) dapat bertambah.
Untuk melaksanakan rencana upacara tersebut, terlebih  dahulu Ammatoa selaku penghulu adat, memanggil para pembantunya. Diantaranya ialah Galla Anjuru, Galla Maleleng dan seorang Sanro/dukun Kampung, yang disebut Gurutta di Lolisang. Kepada Ketiga pemangku adat ini, diminta pendapatnya tentang rencana itu. Setelah terjadi mufakat, ditetapkan pula hari pelaksanaan aknganro-Konjo (meminta do’a).
Selanjutnya  Ammatoa memerintahkan kepada Galla Puto, sebagai sekretaris adat, untuk mengundang seluruh pemangku adat Kajang untuk bermusyawarah. Kegiatan bermusyawarah untuk membicarakan sesuatu, disebut oleh mereka dengan a’borong’ (berkumpul). Dalam pertemuan tersebut ditetapkan hari-hari pelaksanaan upacara. Galla Lombok atau kepala desa Tana Toa, mendapat tugas untuk menghadirkan gadis dalam kawasan yang bertugas mengucapkan do’a. Pembacaan do’a oleh gadis-gadis dilaksanakan dengan melantunkan lagu-lagu (dengan syair tertentu), diiringi suling (musik basing-basing). Galla Puto bertugas menghadirkan penghulu untuk Attunu Panrolik dan Pallete Panne (meniti piring). Turut pula ditetapkan Anrong untuk menyiapkan bente. Bente ialah gabah dari beras pulut hitam yang disangrai (digoreng tanpa minyak), sampai mekar.
Setelah petugas upacara ditetapkan, maka disalah satu tempat di dalam hutan karamaka (hutan keramat), para penghulu adat berkumpul. Di dalam kegiatan aborong’ dibawah naungan pohon yang rindang, Camat Kajang yang disebut labbiria turut dihadirkan. Para pejabat Iainnya pun dihadirkan seperti Sulewatang, Anak Karaeng dan sejumlah penghulu adat. Pada saat upacara do’a berlangsung seluruh masyarakat butta kamase-masea kawasan adat, turut berdo’a. Mereka berdo’a dengan membakar dupa (kemenyan) di pintu rumah masing-masing.
Sebuah upacara adat Ammatoa (Foto: sapril.blogspot.co.id)   

Inti dari upacara ritual ini, ialah ketika bente” yang ditempatkan didalam wadah khusus, dibawa kehadapan Ammatoa. Sambil membakar kemenyan, Ammatoa membacakan mantera tertentu dengan sangat khidmat. Mantera tersebut merupakan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atau oleh mereka disebut Tu Rie’ A’ra’na agar menurunkan rezeki kepada warganya. Selesai membaca mantera, bente tersebut dibawa ke laut untuk ditabur. Tidak ketinggalan alat-alat penangkap ikan pun seperti sero, bubu, jala dan sebagainya turut ditaburi bente.
Menurut kepercayaan warga setempat, beberapa hari kemudian, hasil ikan pun melimpah. Selanjutnya untuk mensyukuri anugerah Tuhan diadakan pula pesta syukuran sebagai tanda terima kasih kepada Tu Rie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak). (Bersambung)


0 komentar:

Posting Komentar