Upacara
Adat Attahuru Bente
Menurut Pasang Ri Kajang salah
satu ciri keberhasilan pemerintah, ialah nakajari
tinanang, napanaiki juku’ sumahe. Artinya tanaman / pertanian berhasil, dan
hasil ikan melimpah.
Terkadang pada suatu musim, masyarakat
Kajang mengalami suatu masa paceklik. Kegiatan masyarakat pada umumnya tidak
berhasil, baik usaha dibidang pertanian, perkebunan maupun usaha dibidang
perikanan. Dalam keadaan seperti itu, diamanahkan dalam Pasang agar pemangku adat (Ammatoa)
mengadakan upacara. Esensi dari pada
upacara dimaksud ialah aknganro
(meminta do’a) Kepada Tu Rie’ A’ra’na (yang
berkehendak / Tuhan) mereka. Tujuannya ialah agar diturunkan rezeki kepada
penduduk.
Upacara Attahuru Bente, adalah upacara khusus untuk meminta do’a, dengan
harapan rezeki dan usaha warga
melalui laut (perikanan) dapat
bertambah.
Untuk melaksanakan rencana upacara
tersebut, terlebih dahulu Ammatoa selaku penghulu adat, memanggil
para pembantunya. Diantaranya ialah Galla
Anjuru, Galla Maleleng dan seorang Sanro/dukun Kampung, yang disebut Gurutta di Lolisang. Kepada
Ketiga pemangku adat ini, diminta pendapatnya tentang rencana itu. Setelah
terjadi mufakat, ditetapkan pula hari pelaksanaan aknganro-Konjo (meminta
do’a).
Selanjutnya Ammatoa
memerintahkan kepada Galla Puto, sebagai sekretaris adat, untuk
mengundang seluruh pemangku adat Kajang untuk bermusyawarah. Kegiatan
bermusyawarah untuk membicarakan sesuatu, disebut oleh mereka dengan a’borong’ (berkumpul). Dalam pertemuan
tersebut ditetapkan hari-hari pelaksanaan upacara. Galla Lombok atau kepala desa Tana Toa, mendapat tugas untuk
menghadirkan gadis dalam kawasan yang bertugas mengucapkan do’a. Pembacaan do’a
oleh gadis-gadis dilaksanakan dengan melantunkan lagu-lagu (dengan syair
tertentu), diiringi suling (musik basing-basing).
Galla Puto bertugas menghadirkan penghulu untuk Attunu Panrolik dan Pallete
Panne (meniti piring). Turut pula
ditetapkan Anrong untuk menyiapkan
bente. Bente ialah gabah dari beras
pulut hitam yang disangrai (digoreng tanpa minyak), sampai mekar.
Setelah petugas upacara ditetapkan,
maka disalah satu tempat di dalam hutan karamaka
(hutan keramat), para penghulu adat berkumpul. Di dalam kegiatan aborong’ dibawah naungan pohon yang
rindang, Camat Kajang yang disebut labbiria
turut dihadirkan. Para pejabat Iainnya pun dihadirkan seperti Sulewatang, Anak Karaeng dan sejumlah
penghulu adat. Pada saat upacara do’a berlangsung seluruh masyarakat butta kamase-masea kawasan adat, turut
berdo’a. Mereka berdo’a dengan membakar dupa (kemenyan) di pintu rumah
masing-masing.
Sebuah upacara adat Ammatoa (Foto: sapril.blogspot.co.id) |
Inti dari upacara ritual ini, ialah
ketika bente” yang ditempatkan didalam wadah khusus, dibawa kehadapan Ammatoa. Sambil membakar kemenyan, Ammatoa membacakan mantera tertentu
dengan sangat khidmat. Mantera tersebut merupakan do’a kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, atau oleh mereka disebut Tu Rie’
A’ra’na agar menurunkan rezeki kepada warganya. Selesai membaca mantera, bente tersebut dibawa ke laut untuk
ditabur. Tidak ketinggalan alat-alat penangkap ikan pun seperti sero, bubu, jala dan sebagainya
turut ditaburi bente.
Menurut kepercayaan warga setempat,
beberapa hari kemudian, hasil ikan pun melimpah. Selanjutnya untuk mensyukuri
anugerah Tuhan diadakan pula pesta syukuran sebagai tanda terima kasih kepada Tu Rie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak). (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar