Tiga Zona Hutan
Jauh sebelum Negara
Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, masyarakat adat Kajang telah lama
mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu.
Menurut Yusuf Akib, hutan di kawasan adat Ammatoa memiliki luas sekitar 1.899
ha. Kawasan hutan tersebut dibagi menjadi tiga zona, sebagai berikut:
Warga Ammatoa (Foto: delapanagustus1988.blogspot.com) |
i. Borong
Karamaka (Hutan Keramat)
Dalam Kawasan adat
Tanah Toa/ Ammatoa Kajang terdapat
hutan adat yang disebut borong karamaka.
Kawasan ini biasa juga disebut hutan pusaka. Hutan ini sama sekali tidak boleh
diganggu. Pada wilayah tersebut tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun
yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud adalah antara lain
penebangan kayu, perburuan hewan dan sebagainya. Areal hutan ini tidak boleh
dimanfaatkan secara Iangsung baik dalam bentuk hasil kayu maupun yang bukan
kayu. Hutan pusaka ini, merupakan hutan lindung sehingga untuk masuk ke dalam
kawasan ini tidak diperbolehkan kecuali bila ada acara ritual tertentu. Hutan
adat ini betul-betul dijaga dengan sangat ketat, saking ketatnya sampai,
memotong rantingpun tidak diperbolehkan.
Bagi orang Kajang
khususnya komunitas adat Ammatoa
meyakini bahwa hutan mengandung kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat
mensejahterakan masyarakat tetapi juga sekaligus dapat mendatangkan bencana
apabila tidak dijaga kelestariannya. Keyakinan ini kemudian diwariskan secara
turun temurun. Bukan itu saja, bahkan masyarakat tanah kamase-masea sangat yakin bahwa Tu
Rie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak) mengawasi perilaku komunitas Ammatoa dari dalam hutan. Keyakinan ini
diperkuat melalui acara ritual yang secara langsung bersentuhan dengan hutan.
Menurut Pasang yang dikomunikasikan lewat Ammatoa, borong karamaka (hutan adat)
memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1) untuk menjaga keseimbangan ekologis, dan
2) memiliki nilai atau fungsi ritual.
Karena kedua fungsi
itulah sehingga Ammatoa sangat
konsisten dalam menjaga kelestarian hutannya. Karena keyakinan tersebut di
atas, sehingga masyarakat adat Kajang mampu melestarikan hutannya, sehingga
tetap utuh sampai sekarang.
ii.
Borong Batasaya (Hutan Kemasyarakatan)
Selain hutan adat, di dalam kawasan adat Ammatoa
terdapat lokasi hutan yang disebut borong
batasaya. Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya dengan syarat
tertentu. Persyaratan itu antara lain bahwa kebutuhan itu memang sangat
diperlukan. Syarat yang paling utama ialah apabila ingin menebang pohon untuk
suatu keperluan harus atas izin dari Ammatoa.
Selanjutnya harus menanam pohon terlebih dahulu sebanyak dua kali dari jumlah
yang dibutuhkan. Pohon yang ditanam tersebut dipelihara hingga tumbuh dengan
baik. Ketentuan tersebut di atas tertuang di dalam Pasang: ‘punna erokko
annabang sipoko’ kayu ri boronga, a’lamungko rolo ruang poko’ anggennna timbu.
Artinya kalau ingin menebang satu pohon kayu di hutan, harus terlebih dahulu
menanam dua pohon kayu sampai tumbuh dengan baik.
iii.
Hutan Rakyat
Selain
dua zona hutan yang telah disebutkan sebelumnya, di dalam kawasan adat Ammatoa, terdapat pula hutan yang di
sebut hutan rakyat. Kawasan hutan rakyat ini di peruntukkan kepada masyarakat
luas. Hutan ini digarap bersama-sama oleh masyarakat setempat, dan hasilnya
dinikmati bersama-sama. Hasil hutan yang diambil dari hutan ini, umumnya
digunakan untuk kepentingan pembangunan rumah, untuk kayu bakar dan sebagainya.
Tanah adalah “ibu”
bagi Komunitas Ammatoa
Komunitas
adat Ammatoa memiliki filosofi yang memandang tanah sebagai “ibu” mereka.
Filosofi ini, dianut oleh mereka sejak ajaran Pasang itu ada. Komunitas adat Ammatoa
pada umumnya menggantungkan kenidupannya dengan bertani dan beternak. Hasil
pertanian mereka antara lain: padi, jagung, palawija dan sayur-sayuran. Mereka
bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Untuk memenuhi
kebutuhan lainnya seperti lauk pauk, mereka menjual hasil pertanian lainnya,
misalnya kelapa, gula aren dan sebagainya. Tidak ada warga masyarakat adat
Tanah Kamase-masea yang berprofesi
lain kecuali bertani. Barangkali inilah yang menjadi alasan filosofi mereka
sehingga tanah dianggap sebagai “ ibu “.
Hal ini memang wajar karena mereka betul-betul hidup dari hasil pertanian. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar