Sanksi Adat Bagi Pelanggar Pasang (Perusak Hutan)
Uraian
tentang materi Pasang yang telah
dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai ialah kelestarian
lingkungan hutan.
Salah satu pasal dan Pasang
berbunyi Anjo boronga anre nakkulle
nipanraki punna nipanraki boronga,
nupanrakintu kalennu”. Artinya hutan tidak boleh dirusak, jika engkau
merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.
Apabila
ada pelanggar ketentuan seperti mengganggu kelestarian hutan dan pelakunya diketahui,
maka akan dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Untuk menjatuhkan
vonis diadakan acara Aborong
(bermusyawarah) yang dihadiri oleh anggota dewan adat. Acara A’borong dipimpin langsung oleh Ammatoa. Menurut ketentuan Pasang Ri Kajang, ada tiga tingkatan
sanksi yang dikenakan kepada setiap pelanggar:
1) Cappa’
ba’bala, artinya ujung cambuk,
yaitu pelanggaran ringan. Cappa ba’bala
diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari hutan/ kebun rakyat
masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa
denda enam Real senilai Rp. 600.000,- ditambah satu gulung kain putih.
2) Tangnga
ba’bala, artinya pertengahan
cambuk ; yaitu pelanggaran sedang. Tangnga
ba’ba1a merupakan sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasaya atau hutan
kemasyarakatan. Pengambilan kayu dan hasil apa saja dalam kawasan borong batasaya tanpa izin Ammatoa harus dihukum dengan aturan Tangnga ba’bala. Walaupun ada izin
tetapi ternyata mengambil lebih dari yang diizinkan, maka orang tersebut
dianggap melanggar aturan dan kepadanya akan dikenakan denda delapan Real atau
senilai dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.
3) Poko
ba’bala, artinya pangkal cambuk;
yaitu pelanggaran berat. Yang dikenakan sanksi poko’ ba’bala yaitu masyarakat yang mengambil hasil hutan baik kayu
maupun non kayu di dalam hutan adat (hutan keramat). Poko’ ba’bala merupakan denda/ hukuman paling tinggi dalam aturan
menurut pasang. Masyarakat adat yang
melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas Real dan bila
dirupiahkan senilai, dengan Rp. 1.200.000,- ditambah satu gulung kain putih.
Kayu yang sudah diambil kemudian dikembalikan ke dalam hutan.
Membongkar Kedok Perusak Hutan
Apabila pelaku
penebangan pohon di hutan tidak diketahui orangnya, hal ini menjadi masalah.
Namun Ammatoa tidak kehilangan akal.
Cara Ammatoa membongkar kedok perusak
hutan cukup keras. Menurut Pasang
bila hal ini terjadi diadakan upacara “
attunu panrolik” (membakar linggis). Attunu
panrolik ialah membakar linggis sampai berwarna merah saking panasnya.
Sebelum upacara
dilaksanakan di rumah Ammatoa dipukul
gendang dengan irama tertentu. Semua warga yang mendengar bunyi gendang tahu
bahwa ada upacara attunu panrolik.
Mereka segera berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Linggispun dibakar
sampai merah. Kepada setiap warga dipersilahkan memegang linggis yang sudah
memerah karena panasnya, namun yang bukan pelaku penebangan kayu di hutan tidak
akan merasakan panasnya linggis tersebut. Ini
suatu hal yang aneh. tetapi bagi pelaku (kalau hadir dan memegang
linggis) akan segera ketahuan sebab tangannya akan melepuh. Namun menurut
pengalaman, pelaku penebangan tidak akan mau menghadiri upacara tersebut.
Dengan demikian pelakunya akan diketahui dan segera dicari orangnya.
Sanksi Adat Bagi Pelanggar Pasang (Perusak Hutan)
Uraian
tentang materi Pasang yang telah
dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai ialah kelestarian
lingkungan hutan.
Salah satu pasal dan Pasang berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki punna nipanraki boronga, nupanrakintu kalennu”. Artinya hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.
Salah satu pasal dan Pasang berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki punna nipanraki boronga, nupanrakintu kalennu”. Artinya hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.
Apabila
ada pelanggar ketentuan seperti mengganggu kelestarian hutan dan pelakunya diketahui,
maka akan dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Untuk menjatuhkan
vonis diadakan acara Aborong
(bermusyawarah) yang dihadiri oleh anggota dewan adat. Acara A’borong dipimpin langsung oleh Ammatoa. Menurut ketentuan Pasang Ri Kajang, ada tiga tingkatan
sanksi yang dikenakan kepada setiap pelanggar:
1) Cappa’
ba’bala, artinya ujung cambuk,
yaitu pelanggaran ringan. Cappa ba’bala
diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari hutan/ kebun rakyat
masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa
denda enam Real senilai Rp. 600.000,- ditambah satu gulung kain putih.
2) Tangnga
ba’bala, artinya pertengahan
cambuk ; yaitu pelanggaran sedang. Tangnga
ba’ba1a merupakan sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasaya atau hutan
kemasyarakatan. Pengambilan kayu dan hasil apa saja dalam kawasan borong batasaya tanpa izin Ammatoa harus dihukum dengan aturan Tangnga ba’bala. Walaupun ada izin
tetapi ternyata mengambil lebih dari yang diizinkan, maka orang tersebut
dianggap melanggar aturan dan kepadanya akan dikenakan denda delapan Real atau
senilai dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.
3) Poko
ba’bala, artinya pangkal cambuk;
yaitu pelanggaran berat. Yang dikenakan sanksi poko’ ba’bala yaitu masyarakat yang mengambil hasil hutan baik kayu
maupun non kayu di dalam hutan adat (hutan keramat). Poko’ ba’bala merupakan denda/ hukuman paling tinggi dalam aturan
menurut pasang. Masyarakat adat yang
melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas Real dan bila
dirupiahkan senilai, dengan Rp. 1.200.000,- ditambah satu gulung kain putih.
Kayu yang sudah diambil kemudian dikembalikan ke dalam hutan.
Membongkar Kedok Perusak Hutan
Apabila pelaku
penebangan pohon di hutan tidak diketahui orangnya, hal ini menjadi masalah.
Namun Ammatoa tidak kehilangan akal.
Cara Ammatoa membongkar kedok perusak
hutan cukup keras. Menurut Pasang
bila hal ini terjadi diadakan upacara “
attunu panrolik” (membakar linggis). Attunu
panrolik ialah membakar linggis sampai berwarna merah saking panasnya.
Sebelum upacara
dilaksanakan di rumah Ammatoa dipukul
gendang dengan irama tertentu. Semua warga yang mendengar bunyi gendang tahu
bahwa ada upacara attunu panrolik.
Mereka segera berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Linggispun dibakar
sampai merah. Kepada setiap warga dipersilahkan memegang linggis yang sudah
memerah karena panasnya, namun yang bukan pelaku penebangan kayu di hutan tidak
akan merasakan panasnya linggis tersebut. Ini
suatu hal yang aneh. tetapi bagi pelaku (kalau hadir dan memegang
linggis) akan segera ketahuan sebab tangannya akan melepuh. Namun menurut
pengalaman, pelaku penebangan tidak akan mau menghadiri upacara tersebut.
Dengan demikian pelakunya akan diketahui dan segera dicari orangnya. (Bersambung)
Hutan Ammatoa (Foto: Ammatoa.com) |
0 komentar:
Posting Komentar