Pagi bangkit dari hati yang manis. Udara adalah sepenuhnya milik aroma
buroncong, putu cangkir dan gogos.
Setelah regukan sempurna pada kopi panas
sawah ladang dan bebukit memiliki matahari dan para
lelaki. Kampung mulai menguning oleh jemuran padi
sepanjang jalan. Di hari lain disibukkan ritmis alu dan
lesung oleh tangan lembut perempuan.
Siang hari Indonesia kecil itu adalah juga sekolah alam: Liku Bajang,
Hakke bahie, Ulu Paenre'. Anak-anak mencintai dan dicintai alam. Belajar
berenang dan memanjat pohon. Bermain layang-layang. Mencari buah dao,
rappo-rappo jawa atau sekedar cemilan pucuk daun jambu putih.
Di
front terdepan kebun kelapa terjadi perang-perangan dengan bedil yang
dirakit dari tangkai daun pisang. Di gundukan abu panas belakang pabrik
beras terbenam lusinan singkong yang hampir matang.
Setiap
senja tiba adalah pertanda gadis-gadis sedang meracik kemiri untuk
dijadikan pelita. Lalu malam hari adalah giliran kunang-kunang
berpendaran di lego-lego. Para ibu khusyuk mengaji. Bulan berlayar
tenang di langit.
Tak ada yang lebih nikmat dari menyantap hasil
tangkapan para pallenrong. Tak ada yang lebih riuh dari dolanan
bocah-bocah di bawah purnama: tengko-tengko, laju'-laju', cukke-cukke,
mangngasing, mappinceng, tumbuk-tumbuk belang, mariam to mariam!
Sebuah Indonesia kecil di Palampang. Masih punya hutan, oksigen murni dan sungai bening. Ketika entah berapa kapan yang silam.
Palampang, 5 Oktober 2016.
Ilustrasi (Foto: Koleksi Penulis) |
0 komentar:
Posting Komentar