Jumat, 28 Oktober 2016

Ammatoa (7): Hutan Sebagai Ibu



Tiga Zona Hutan
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu.
Warga Ammatoa (Foto: delapanagustus1988.blogspot.com)
Menurut Yusuf Akib, hutan di kawasan adat Ammatoa memiliki luas sekitar 1.899 ha. Kawasan hutan tersebut dibagi menjadi tiga zona, sebagai berikut:

i.  Borong Karamaka (Hutan Keramat)
Dalam Kawasan adat Tanah Toa/ Ammatoa Kajang terdapat hutan adat yang disebut borong karamaka. Kawasan ini biasa juga disebut hutan pusaka. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu. Pada wilayah tersebut tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud adalah antara lain penebangan kayu, perburuan hewan dan sebagainya. Areal hutan ini tidak boleh dimanfaatkan secara Iangsung baik dalam bentuk hasil kayu maupun yang bukan kayu. Hutan pusaka ini, merupakan hutan lindung sehingga untuk masuk ke dalam kawasan ini tidak diperbolehkan kecuali bila ada acara ritual tertentu. Hutan adat ini betul-betul dijaga dengan sangat ketat, saking ketatnya sampai, memotong rantingpun tidak diperbolehkan.
Bagi orang Kajang khususnya komunitas adat Ammatoa meyakini bahwa hutan mengandung kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mensejahterakan masyarakat tetapi juga sekaligus dapat mendatangkan bencana apabila tidak dijaga kelestariannya. Keyakinan ini kemudian diwariskan secara turun temurun. Bukan itu saja, bahkan masyarakat tanah kamase-masea sangat yakin bahwa Tu Rie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak) mengawasi perilaku komunitas Ammatoa dari dalam hutan. Keyakinan ini diperkuat melalui acara ritual yang secara langsung bersentuhan dengan hutan.
Menurut Pasang yang dikomunikasikan lewat Ammatoa, borong karamaka (hutan adat) memiliki dua fungsi utama, yaitu : 1) untuk menjaga keseimbangan ekologis, dan 2) memiliki nilai atau fungsi ritual.
Karena kedua fungsi itulah sehingga Ammatoa sangat konsisten dalam menjaga kelestarian hutannya. Karena keyakinan tersebut di atas, sehingga masyarakat adat Kajang mampu melestarikan hutannya, sehingga tetap utuh sampai sekarang.

ii.      Borong Batasaya (Hutan Kemasyarakatan)
            Selain hutan adat, di dalam kawasan adat Ammatoa terdapat lokasi hutan yang disebut borong batasaya. Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya dengan syarat tertentu. Persyaratan itu antara lain bahwa kebutuhan itu memang sangat diperlukan. Syarat yang paling utama ialah apabila ingin menebang pohon untuk suatu keperluan harus atas izin dari Ammatoa. Selanjutnya harus menanam pohon terlebih dahulu sebanyak dua kali dari jumlah yang dibutuhkan. Pohon yang ditanam tersebut dipelihara hingga tumbuh dengan baik. Ketentuan tersebut di atas tertuang di dalam Pasang: ‘punna erokko annabang sipoko’ kayu ri boronga, a’lamungko rolo ruang poko’ anggennna timbu. Artinya kalau ingin menebang satu pohon kayu di hutan, harus terlebih dahulu menanam dua pohon kayu sampai tumbuh dengan baik.

iii.    Hutan Rakyat
Selain dua zona hutan yang telah disebutkan sebelumnya, di dalam kawasan adat Ammatoa, terdapat pula hutan yang di sebut hutan rakyat. Kawasan hutan rakyat ini di peruntukkan kepada masyarakat luas. Hutan ini digarap bersama-sama oleh masyarakat setempat, dan hasilnya dinikmati bersama-sama. Hasil hutan yang diambil dari hutan ini, umumnya digunakan untuk kepentingan pembangunan rumah, untuk kayu bakar dan sebagainya.

Tanah adalah “ibu” bagi Komunitas Ammatoa
Komunitas adat Ammatoa memiliki filosofi yang memandang tanah sebagai “ibu” mereka. Filosofi ini, dianut oleh mereka sejak ajaran Pasang itu ada. Komunitas adat Ammatoa pada umumnya menggantungkan kenidupannya dengan bertani dan beternak. Hasil pertanian mereka antara lain: padi, jagung, palawija dan sayur-sayuran. Mereka bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti lauk pauk, mereka menjual hasil pertanian lainnya, misalnya kelapa, gula aren dan sebagainya. Tidak ada warga masyarakat adat Tanah Kamase-masea yang berprofesi lain kecuali bertani. Barangkali inilah yang menjadi alasan filosofi mereka sehingga tanah dianggap sebagai “ ibu “. Hal ini memang wajar karena mereka betul-betul hidup dari hasil pertanian. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar