Selasa, 25 Oktober 2016

Ammatoa (3): Hidup Bersahaja

Warga Ammatoa dan para pelancong berbaur dalam baju hitam-hitam (Foto: Ammatoa.com)


Pola Hidup dan Mata Pencaharian
Komunitas Ammatoa Kajang menganut pola hidup yang unik sehingga berbeda dengan masyarakat Kajang yang berdiam di luar kawasan adat. Secara umum, pola kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ajaran Pasang yang merupakan nilai budaya dan sosial yang mengajarkan warganya untuk hidup sederhana.
Berdasarkan ajaran Pasang  komunitas Ammatoa diwajibkan untuk hidup bersahaja dan pasrah kepada nasib. Karena ajaran yang dianut dan diwarisi secara turun temurun inilah sehingga pola kehidupan mereka hanya tumbuh secara alamiah. Kehidupan mereka relatif tidak berkembang/statis, hal ini disebabkan karena mereka dikungkung oleh tradisi yang sangat ketat. Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka sangat tergantung dari alam lingkungannya. Mereka mengolah ladang dan sawah (pertanian) untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Itulah sebabnya sehingga dari segi ekonomi, komunitas adat Ammatoa Kajang masih sangat terbelakang.
Berbeda dengan penduduk Kecamatan Kajang yang berdomisili di Tana Koasaya atau komunitas non Ammatoa, taraf  kehidupannya  jauh lebih maju. Ini disebabkan karena mereka menganut pola kehidupan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang progresif. Pola kehidupan yang mereka anut sama dengan gerak kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal ini nampak pada aktifitas mereka diberbagai sektor. Antara lain pertanian, perikanan, perdagangan dan sektor ekonomi lainnya. Kiranya tidak mengherankan apabila masyarakat yang berdiam di luar kawasan adat ( I pantarang embaya) banyak yang berhasil dalam usahanya. Karena keberhasilan dalam berbagai bidang usaha tersebut sehingga banyak diantara mereka yang dapat hidup makmur.

Tallasa Kamase-mase (Hidup Sederhana)
Telah diuraikan sebelumnya bahwa komunitas Kajang dalam kawasan adat Ammatoa, menganut pola hidup sederhana Tallasa Kamase-mase (Hidup Sederhana). Pola hidup ini berhubungan dengan keyakinan Patuntung yang mereka anut, yang tertuang dalam Pasang Ri Kajang. Dan selanjutnya dijalankan secara ketat oleh Ammatoa dan dibantu oleh para Galla (penghulu adat). Bagi orang Kajang, khususnya komunitas Ammatoa / I lalang embaya, dunia ini hanya tempat persinggahan sementara. Untuk selanjutnya menuju ke kehidupan  yang kekal abadi “Riallo njorengang” (Akhirat). Itulah sebabnya mereka (Komunitas Ammatoa) tidak terpengaruh oleh kesenangan di dunia, seperti komunitas di Tana Koasaya/ diluar kawasan adat. Kesenangan di maksud ialah kesenangan dalam kehidupan sehari-hari seperti makanan, pakaian, perumahan, harta benda, dan sebagainya. Mereka hanya makan secukupnya, dari hasil pertanian seperti jagung, beras, ketela, sayur-mayur dan sebagainya. Hidup sederhana bagi mereka adalah prinsip dasar dan idiologi dalam kehidupannya. Tallasa Kamase-masea (hidup sederhana apa adanya) adalah prinsip hidup komunitas Ammatoa berdasarkan ajaran Pasang Ri Kajang. Inilah yang dipedomani mereka, sebab tujuan mereka adalah kebahagiaan Ri Allo njorengang / di hari kemudian.
Ada dua pedoman / pola hidup didalam Pasang  yang dianut komunitas adat Ammatoa yaitu :
1.      Anre kalumannyang kalupepeang ; Rie kamase-masea, anggare narie’, bola situju-tuju, care-care narie’, koko narie’, pammali juku ‘narie’. Artinya kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, rumah sederhana, pakaian seadanya, kebun secukupnya, pembeli ikan secukupnya.  Pola hidup sesuai ajaran Pasang tersebut, merupakan gambaran nyata bahwa komunitas Ammatoa Kajang menganut prinsip hidup apa adanya. Yang penting bagi mereka adalah kebutuhan primer dapat terpenuhi.
2.      Ammentengko nukamase-mase, accidongko nukamase-mase, a’dakako nukamase-mase, a’miakko nukamase-mase,. Artinya berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana dan berbicara engkau sederhana. Ajaran pola hidup tersebut mengharuskan warganya untuk bersikap sederhana dalam segala hal.
Ajaran Pasang tersebut di atas itulah yang menjadi keyakinan dan pola hidup komunitas Ammatoa Kajang. Semua aspek kehidupan seperti makanan, pakaian, kebun, rumah menjadi serba sederhana/ dan tidak berlebihan, termasuk pemanfaatan sumber daya alam.

Mata Pencaharian
Masyarakat Kajang pada umumnya mempunyai mata pencaharian bercocok tanam dan beternak hewan, termasuk komunitas adat Ammatoa. Dalam kegiatan pertanian komunitas Ammatoa memanfaatkan tanah semaksimal mungkin untuk diolah menjadi lahan pertanian. Jadi, sistem pertanian yang mereka anut ialah menggunakan lahan secara intensif,. Artinya mereka memanfaatkan lahan dengan areal terbatas, tetapi dengan produksi yang maksimal. Dalam usaha untuk penyuburan tanah, mereka anggap tabu menggunakan pupul pabrik (an organik). Pada umumnya mereka memupuk tanamannya dengan pupuk kandang. Lahan pertanian mereka sangat terbatas, disebabkan oleh aturan adat untuk tidak lagi membuka lahan pertanian baru. Kalau membuka lahan prtanian baru, berarti mereka harus membabat hutan. Dan apabila membabat hutan untuk lahan pertanian, dapat dianggap melanggar Pasang. Hal ini berkaitan dengan usaha menjaga / melestarikan ekosistem lingkungan / hutan. Pada dasarnya semua lahan yang berada di dalam kawan adat Ammatoa merupakan milik adat. Tidak ada seorang wargapun yang berani melanggar aturan. Sebab siapa yang melanggar akan dikenai sangsi berat yang diputuskan secara adat “a’borong” (Musyawarah).
Di dalam kawasan adat Ammatoa, terdapat wilayah yang digunakan sebagi lahan untuk menanam padi. Akan tetapi lahan sawah tersebut masih merupakan sawah tadah hujan, yang mereka sebut Galung Langi’. Artinya sawah yang masih tergantung dari curah hujan dari langit. Itulah sebabnya sehingga kebanyakan penduduk Tana Kamase-maseamelakukan pertanian berladang / berkebun (tegalan). Komoditas yang mereka tanam ialah jagung, ketela, kacang tanah, ketela rambat, sayur-mayur, dan sebagainya. Oleh karena lahan mereka terbatas, sehingga hasil pertanian yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Adapun binatang ternak yang dipelihara komunitas adat Ammatoa Kajang ialah kuda, kerbau, sapi, kambing, dan unggas. Mereka memelihara kuda tujuan utamanya untuk kebutuhan kendaraan di dalam kawasan adat, serta sarana angkutan hasil kebun. Satu-satunya kendaraan didalam kawasan adat ialah kuda. Hal ini disebabkan karena sesuai ajaran Pasang tidak ada satu jenis kendaraanpun yang diperbolehkan masuk dalam kawasan adat. Adapun ternak kerbau dan sapi dimanfaatkan untuk menarik bajak (luku) untuk mengolah ladang. Selanjutnya apabila mereka membutuhkan biaya untuk sesuatu kegiatan/ selamatan dan sebagainya, maka binatang ternaklah yang dijual untuk kebutuhan tersebut.
Selain tanaman semusim yang mereka tanam, penduduk kawasan adat Ammatoa juga menanam tanaman jangka panjang. Tanaman dimaksud antara lain ialah kelapa,  nangka, langsat, sagu, enau/ aren dan lain-lain. Hasil tanaman jangka panjang inilah yang mereka jual untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari kelapa misalnya selain buahnya di jual langsung juga sebagian dijadikan minyak goreng. Enau / aren niranya disadap untuk dijadikan minuman (tuak) dan sebagaian lagi dimasak untuk dijadikan gula aren. Gula aren inilah yang dijual untuk menambah penghasilan demi mencukupi kebutuhan hidup mereka. Demikian halnya dengan hasil tanaman jangka panjang lainnya, disamping di konsumsi, juga sebagian hasilnya dijual di pasar tradisional terdekat.
Selain bertani seperti telah diuraikan sebelumnya. Sebagian penduduk komunitas Ammatoa adapula yang berprofesi sebagi nelayan. Hanya saja dalam melakukan aktifitas mereka sebagai nelayan mereka masih terikat pada paham tradisional. Peralatan yang mereka  pergunakan masih sangat terbatas pada peralatan tradisional seperti sero, bubu, jala, jaring dan peralatan tradisional lainnya. Hasil perikanan mereka sebagian dikonsumsi sendiri, dan selebihnya dipasarkan baik di dalam kawasan adat, maupun diluar kawasan adat.
Suatu keistimewaan bagi komunitas ini, ialah untuk mengendalikan kegiatan mereka sehari-hari, ada perangkat adat yang disebut Galla Maleleng. Pemangku adat inilah yang mengatur nelayan dalam profesinya agar tidak terjadi perselisihan. Juga perangkat yang satu ini, mengawasi para nelayan agar tidak melanggar Pasang. Sebab salah satu butir Pasang menyebutkan “Ako attuha kaloro”, yang berarti nelayan dilarang menggunakan racun dalam melakukan profesinya. Hal ini erat kaitannya dengan usaha pelestarian sumber daya alam, agar dapat memberikan hasil yang berkelanjutan. Khusus dalam bidang perikanan ini, ada satu upacara adat yang disebut “Upacara Attaharu bente”. Upacara ini dilaksanakan sebagai doa (permohonan) kepada Tu Rie’ A’ra’na (“Tuhan”) agar hasil perikanan melimpah.

Kegiatan Menenun
Penduduk laki-laki dalam kawasan adat Ammatoa bertani dan beternak, sedangkan kaum perempuannya beraktifitas bertenun. Mereka menenun kain untuk dipergunakan sendiri seperti sarung, pakaian dan lain sebagainya. Alat tenun yang dipergunakan masih sangat sederhana dan tradisional.
Dahulu benang yang ditenun dipintal sendiri (dengan alat pemintal yang juga sangat sederhana), namun sekarang sudah dapat dibeli di pasar tradisional. Benang yang sudah dibeli diwarnai dengan bahan pewarna dari alam. Bahan pewarnaannya berasal dari sejenis tanaman yang mereka sebut tarung, berasal dari sejenis tanam disekitar pemukiman. Daun tarung dicampur dengan sejenis buah dari tumbuhan pantai/ rawa yang mereka sebut Tongke. Tongke adalah sejenis tumbuhan mangrove yang memiliki buah berbentuk bulat panjang mirip buah kelor.
Buah Tongke yang dipungut dari hutan bakau, dipotong-potong lalu dijemur. Kemudian daun tarung yang telah dipetik direndam ke dalam air. Kedua jenis bahan tersebut kemudian dicampur, lalu dimasukkan ke dalam wadah, yang terbuat dari tanah liat/ gerabah. Selanjutnya bahan ini diendapkan di bawah kolong rumah dengan maksud agar tidak terkena sinar matahari lansung.
Proses pewarnaan dilakukan pada waktu pagi hari sebelum matahari terbit dan sore hari sekitar pukul 17.00. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kualitas warna (hitam) yang bagus. Benang yang akan di warnai dicelupkan ke dalam wadah yang sudah diberi warna dari kedua jenis bahan tadi. Untuk memperoleh warna yang lebih baik, biasanya sambil dicelupkan ke dalam wadah, benang tersebut di remas-remas berulang kali. Semakin lama benang tersebut dicelupkan ke dalam wadah sambil diremas-remas akan semakin baik pula kualitas warna yang dihasilkan.
Setelah proses pencelupan, selanjutnya benang dijemur di bawah kolong rumah sampai kering. Setelah kering barulah dirajut dan selanjutnya ditenun untuk dijadikan kain sarung khas Kajang Le’leng (Kajang hitam). Proses penenunan kain ini memakan waktu beberapa minggu. Dengan warna khas hitam dan sedikit garis-garis putih, sarung khas Kajang ini laku dijual dengan harga Rp.200.000-Rp.300.000 per lembar. (Bersambung)


0 komentar:

Posting Komentar