Selasa, 25 Oktober 2016

Ammatoa (4): Spiritual dan Seni



Penduduk, Agama dan Kepercayaan
Jumlah penduduk Kecamatan Kajang ± 39.800 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 8200 orang merupakan penduduk kawasan adat Ammatoa. Selebihnya adalah kelompok masyarakat non Ammatoa yang berdomisili diluar kawasan Adat atau di Tana Koasaya.
Salah satu Kesenian Tradisional Ammatoa (Foto: flickr.com)
Jadi masyarakat adat Ammatoa dimaksud adalah penduduk kecamatan Kajang yang berdomisili di dalam wilayah Tana Kamase-masea (Ilalang Embaya). Masyarakat tersebut terikat oleh adat istiadat yang bersumber dari ajaran Pasang yang dikomunikasikan lewat Ammatoa selaku pemangku adat. Masyarakat non Ammatoa adalah penduduk Kecamatan Kajang yang bertempat tinggal di Tana Koasaya (I Pantarang Embaya/ diluar kawasan). Mereka ini dibebaskan untuk memilih adat sesuai dengan keyakinannya. Mereka boleh mengikuti adat istiadat yang bersumber dari ajaran Pasang dan boleh juga tidak mengikutinya.
Antara dua kelompok masyarakat tersebut, terdapat perbedaan yang sangat menonjol. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Misalnya dari segi pendidikan, komunitas Ammatoa masih jauh terbelakang dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang berdiam di Tana Koasaya.
Adapun agama / kepercayaan menurut catatan di kantor Kecamatan Kajang, penduduk kecamatan ini 100% memeluk agama Islam. Berdasarkan data tersebut, berarti komunitas adat Ammaota yang tinggal di dalam kawasan Tana Kamase-masea juga seluruhnya beragama Islam.
Walaupun komunitas adat Ammatoa tergolong sebagai “Penganut Agama Islam” namun pelaksanaan syariat Islam hampir tidak pernah dilaksanakan. Seperti misalnya shalat lima waktu, puasa, mengeluarkan zakat, hampir tidak ada yang melaksanakannya. Apalagi ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah. Tetapi sangat mengherankan mereka tidak mau menerima kalau disebut bukan Islam. Hal ini menimbulkan sifat paradoksial. Ini merupakan akibat dari bentuk pengamalan Islam masih diwarnai kepercayaan animisme yang diwarisi dari leluhur mereka.
Menurut Yusuf Akib, komunitas adat Ammatoa meskipun mengaku beragama Islam akan tetapi lebih cenderung memahami Islam dari segi hakekat. Ajaran Islam  dilaksanakan hanya terbatas pada pengucapan dua kalimat syahadat, Kallong Tedong (Penyembelihan Hewan). Selanjutnya Katimboang Tau (Upacara Pernikahan), Kala’busang Amuru (dalam hal kematian) dan Passunna’kang (Khitanan).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, berarti syariat Islam tidak dilaksanakan, kecuali pada tata cara perkawinan, kematian, dan khitanan. Mereka masih memegang teguh kepercayaan animisme, percaya adanya kekuatan pada benda-benda tertentu dan terhadap roh-roh nenek moyang.
Seperti disebutkan di atas bahwa kepercayaan animisme masih mewarnai kehidupan komunitas adat Ammatoa. Itu sebabnya sehingga kualitas keberagaman Islamnya masih membaur dengan unsur spiritual tradisional. Paham keagamaan mereka di manfaatkan dalam perilaku sehari-hari yang disebut kepercayaan Patuntung.
Kepercayaan Patuntung yang dianut komunitas adat Kajang merupakan perkawinan antara budaya spiritual tradisional dengan Islam. Ada ungkapan yang menguatkan betapa sinkretisasinya/ diseimbangkannya kepercayaan Patuntung dengan Islam. Dalam Pasang disebutkan “Guru sara’tanga tappa ri Patuntunga tala assai kasallanganna” selanjutnya “ Guru patuntung tanga tappa ri guru sara’ tala assai kapatuntunganna”. Ungkapan dalam Pasang tersebut bermakna ulama yang tidak percaya kepada (kepercayaan) Patuntung, tidak sah pengetahuannya (tentang ajaran Islam) dan seorang (guru) Patuntung yang tidak percaya kepada ulama, tidak sah ke Patuntungannya”.
Kehidupan keagamaan yang mendua inilah yang terdapat di dalam kawasan I lalang embaya (komunitas adat Ammatoa).

Kegemaran dan Kesenian
Meskipun komunitas adat Ammatoa menganut pola hidup Tallasa kamase-mase (hidup sederhana), namun mereka tetap memiliki rasa keindahan dan apresiasi tinggi terhadap kesenian. Perasaan keindahan itulah yang diekspresikan dalam bentuk kegemaran dan ungkapan seni lainnya. Hanya saja, menurut ketentuan ajaran pasang, bentuk-bentuk kesenian dalam masyarakat tidak untuk kebutuhan hiburan, apalagi untuk dikomersilkan. Bahkan dahulu, kesenian mereka merupakan bagian dari kegiatan ritual tertentu. Kesenian basing-basing misalnya, lantunan syair yang dikomunikasikan vokalis dengan iringan suling, merupakan mantera/ doa untuk kegiatan ritual tertentu.
Di dalam kawasan adat Ammatoa ada beberapa kegemaran maupun bentuk kesenian. Kegemaran dan kesenian itu antara lain sabung ayam, pencak silat, main gendang, tari pa’bitte passapu, musik basing-basing dan sebagainya. Bentuk-bentuk kesenian mereka kurang beragam itupun hanya bersifat temporer, yang ditampilkan pada kegiatan tertentu. Pencak silat misalnya biasanya diadakan pada acara perkawinan, penjemputan tamu terhormat atau dalam rangkaian pesta adat.
Mengenai kesenian masa kini baik musik maupun tari, sesuai ajaran Pasang anak-anak dilarang meniru orang luar kawasan adat. Peniruan terhadap bentuk kesenian dan kegemaran lainnya sebagaimana biasanya, dianggap bertentangan dengan prinsip hidup bersahaja. Sejak dahulu mereka mentabukan pola hidup yang dipengaruhi oleh ragam bentuk kesenian dan semacamnya.
Namun belakangan ini, keadaan seperti yang digambarkan di atas sudah mulai mengalami pergeseran. Contohnya tari pa’bitte passapu dan musik basing-basing sejak beberapa tahun lalu sudah dipertontonkan diluar kawasan adat. Penampilan kedua bentuk kesenian tersebut bukan hanya di Ibukota kecamatan, kabupaten maupun provinsi, tetapi bahkan sudah ditampilkan di Ibukota negara, Jakarta. Tari pa’bitte passapu, dan musik basing-basing misalnya, pada Tahun 1988 telah ditampilkan di TMII Tanggal 24 April 1988. Bahkan dalam rangka hari jadi TMII, Sulawesi Selatan menampilkan pesona budaya dari Kabupaten Bulukumba. Pada acara itulah ditampilkan upacara adat Attahuru Bende, dan Sendratari Panrita Lopi.
Penampilan kesenian/ ragam budaya merupakan bukti bahwa kesenian khas dari kawasan adat Ammatoa, tidak lagi terisolasi seperti dahulu. Dia tidak lagi terbelenggu oleh tradisi yang sangat ketat seperti dahulu. Untuk hal-hal tertentu, komunitas adat Kajang sudah mulai “membuka diri” dan beradaptasi dengan dunia luar. Hal ini merupakan fakta bahwa mereka bukanlah suku terasing atau terpencil seperti pendapat sebagian kalangan. Dengan keterbukaan ini diharapkan dapat berimplikasi pada kegiatan lainnya, sehingga komunitas ini dapat tersentuh oleh perubahan. Yang pada gilirannya kesejahteraannya dapat ditingkatkan seiring dengan pertumbuhan kesejahteraan rakyat Indonesia pada umumnya. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar