Senin, 24 Oktober 2016

Ammatoa (2): Rumah Panggung ke Arah Gunung

Rumah panggung warga Ammatoa (Foto: Kompas.com)


Bentuk Rumah dan Pola Permukiman
Di dalam kawasan adat Ammatoa Kajang, khususnya di kawasan inti Dusun Benteng, rumah penduduk seluruhnya menghadap ke arah barat.
Ada filosofi yang mereka anut dalam menata permukiman komunitas Ammatoa. Kalau rumah mereka tidak menghadap ke barat, setidaknya harus menghadap ke gunung. Hal ini disebabkan karena arah barat merupakan tempatnya Kiblat, dan tenggelamnya matahari. Secara filosofi hal ini bermakna munculnya kegelapan. Menurut mereka kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan sesudah kematian (akhirat). Bahkan pada malam hari dilarang menggunakan cahaya yang berlebihan, meskipun lingkungan sekitarnya sangat rimbun oleh berbagai jenis tumbuhan.
Menurut komunitas Ammatoa Kajang warna hitam mengandung makna bahwa semua manusia akan kembali ke dunia yang gelap/ kematian. Selain itu, menurut mereka penggunaan warna hitam, meskipun kena noda tidak akan terlalu nampak.
Secara umum bentuk arsitektur rumah komunitas Ammatoa sama dengan bentuk rumah suku Bugis Makassar. Model rumah mereka ialah rumah panggung yang terdiri dari tiga bagian. Ini melambangkan dunia mikrokosmos yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dunia atas dunia tengah dan dunia bawah. Bagian atas rumah mereka sebut Para / Loteng yang melambangkan dunia atas. Para atau loteng ini mereka fungsikan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian berupa makanan seperti padi, jagung dan sebagainya. Bagian badan rumah/ bagian tengah mereka sebut Kale Bola yang melambangkan dunia tengah. Badan rumah inilah yang ditempati oleh pemiliknya untuk beraktifitas sehari-hari. Bagian bawah rumah disebut Siring yang melambangkan dunia bawah. Siring atau kolong rumah mereka fungsikan sebagai tempat untuk menyimpan peralatan pertanian. Kolong rumah juga berfungsi sebagai tempat menumbuk padi, menenun dan bahkan dijadikan sebagai kandang ternak.
Di dalam wilayah adat Ammatoa atau Tana Kamase-masea semua rumah mempunyai bentuk yang sama. Kesamaan itu bukan saja dari segi bentuk tetapi juga dari segi bahan, ukuran, denah ruangan dan fungsi ruangan. Dengan bentuk maupun jenis bahan yang sama, dapat menimbulkan kebersamaan di antara komunitas adat Ammatoa. Dengan timbulnya kebersamaan di antara mereka maka tidak ada yang merasa lebih dari yang lainnya. Di antara komunitas Ammatoa, tidak terjadi persaingan, baik dari segi materi maupun yang lainnya. Model rumahnya adalah rumah panggung yang mempunyai 16 buah tiang yang ditanam. Hal ini merupakan simbolisasi, yang berarti bahwa ketika manusia mati, jasadnya akan di tanam dalam tanah.
Bagian dalam rumah warga komunitas adat Ammatoa Kajang, tidak memiliki sekat/ kamar. Suatu hal yang sangat unik ialah penempatan dapur yang diletakkan di bagian depan rumah, disebelah kiri pintu masuk. Ini mengandung makna filosofi  bahwa orang Kajang sangat memuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Dengan tidak adanya ruangan kamar, hal ini bermakna bahwa mereka memiliki sifat keterbukaan dan menunjukkan apa adanya.
Bagi komunitas Ammatoa, prinsip hidup kamase-masea (bersahaja) betul-betul dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kesederhanaan tersebut baik dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, maupun papan (rumah). Untuk kebutuhan rumah tangga misalnya, itu tercermin dalam kelengkapan isi rumah mereka. Di dalam rumah mereka, tidak ditemukan satu pun perabot rumah tangga seperti kursi, meja, lemari, maupun tempat tidur (ranjang/dipan). Peralatan yang ada hanyalah alat dapur, seperti periuk dan sebagainya, yang kebanyakan terbuat dari tanah liat (gerabah). Bahkan untuk keperluan makan pun, mereka hanya menggunakan tempurung kelapa. 
Bagian-bagian rumah orang Kajang merupakan simbol yang masing-masing mengandung makna tertentu seperti :
1.      Pappamuntulan yang terletak di Latta riolo (tempat tamu) bermakna bahwa segala sesuatu mempunyai batas. Seorang tamu tidak boleh melewati Pappamuntulan, kecuali seizin tuan rumah.
2.      Tiang rumah tidak dilubangi merupakan simbol menghindari bahaya. Ini bermakna bahwa agar pemilik rumah terhindar dari bahaya atau bentuk kekerasan yang dapat menyebabkan “lubang”.
3.      Tiang rumah ditanam bermakna bahwa manusia harus selalu berhubungan dengan tanah yang merupakan “ibu” manusia.
4.      Papan dinding rumah dipasang horizontal, merupakan simbol “jangan menghidupkan yang sudah mati”.  Pohon yang sudah dibuat menjadi papan, dianggap sudah “mati”. Tidak boleh dipasnag dalam posisi berdiri seperti ketika masih hidup. Hal ini bermakna dilarang bertindak yang tidak sesuai dengan kenyataan.
5.      Letak dapur di depan, maksudnya memuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Hal ini bermakna keterbukaan. Selanjutnya mengandung makna bahwa apabila dapur berasap atau dinyalakan, itu pertanda tamu akan dijamu dan sebaliknya jangan pulang sebelum dijamu. Menolak jamuan menyebabkan tuan rumah tersinggung.
6.      Tempat cuci kaki diletakkan pada bagian depan rumah, mengandung makna bahwa setiap masalah harus dihadapi dengan kepala dingin.
7.      Baris tiang rumah yang berjumlah empat lajur (saluru’) merupakan simbol yang bermakna bahwa orang yang sudah berkeluarga diapit oleh empat orang tua, yaitu ibu bapak dan kedua mertua.
Kehidupan komunitas Ammatoa akrab dengan nuansa religius menurut kepercayaan patuntung. Hal ini dapat dilihat pada simbol-simbol dari aktifitas yang pernah berlangsung. Misalnya upacara pensucian rumah, ini diabadikan dengan penggambaran manusia kangkang di dalam rumah. Terdapat tiga proses pensucian diri manusia yang ditandai dengan pemasangan dompe/ destar, yaitu penutup kepala dari kain hitam bagi laki-laki. Berdasarkan tradisi,dalam upacara tersebut dilakukan pemotongan kerbau. Upacara ini diabadikan dengan pemasangan tanduk kerbau di bagian tengah rumah (ruang utama).
Suatu hal yang sangat unik pada rumah penduduk Tana Kamase-Mase, khususnya di dalam Dusun Benteng ialah tak satu pun bagian rumah yang menggunakan paku. Untuk memperkuat satu bagian rumah dengan bagian lainnya, umumnya hanya diikat dengan menggunakan rotan (uhe-konjo) atau digunakan pasak kayu atau bambu. Pantangan menggunakan hasil industri dan teknologi menggambarkan keterikatan mereka pada ajaran leluhur, yang hanya dibolehkan menggunakan bahan alam.
Wilayah inti komunitas adat Ammatoa, berada di Dusun Benteng. Wilayah ini sama sekali belum tersentuh oleh pengaruh luar, baik hasil teknologi maupun yang lainnya. Mereka betul-betul berada pada kungkungan adat yang sangat ketat. Rumah-rumah di dusun Benteng memiliki pola pemukiman berkelompok dan menghadap ke barat. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan Patuntung yang mereka anut. Ciri khas lainnya adalah nampak pada pola pemukiman mereka yang selalu menghadap ke arah ketinggian (bukit dan gunung). Pola pemukiman seperti ini berbeda dengan pola pemukiman suku Bugis Makassar pada umumnya. Pada umumnya rumah-rumah orang Bugis Makassar berderet berhadapan sepanjang jalan, atau mengikuti aliran sungai.
Menurut Puto Massaniga yang dikutip dari Yusuf Akib “ Anjo balla’a addalle mange ribuki’a anre’ nahaji’ addalle mange ri alluka” artinya rumah harus menghadap kegunung (tempat ketinggian) tidak baik bila menghadap ke lembah. Pola penempatan arah hadap rumah seperti ini berkaitan dengan keyakinan kepercayaan mereka bahwa Tu Rie’ A’ra’na “Tuhan” mereka bersemayam ditempat yang tinggi. Penempatan rumah ini bermakna agar rezeki yang berasal dari Tu Rie’ A’ra’na dapat diterima secara langsung, sebab “Tuhan” berada ditempat yang tinggi.
Sampai dewasa ini pola pemikiran situ masih dianut dengan ketat oleh komunitas Ammatoa dimana pemimpin adat ini berdiam. Tetapi beberapa tahun belakangan ini, semakin jauh dari wilayah inti komunitas Ammatoa, pola pemukiman sudah mulai dipengaruhi oleh pemikiran dari luar. Hal ini membuktikan bahwa komunitas adat Ammatoa (khususnya yang bermukim di luar wilayah inti/ dusun benteng) sudah mulai beradaptasi dengan  budaya luar. (Bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar