Jumat, 28 Oktober 2016

Ammatoa (8): Jangan Rusak Hutan Kami



Sanksi Adat Bagi Pelanggar Pasang (Perusak Hutan)
Uraian tentang materi Pasang yang telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai ialah kelestarian lingkungan hutan.
Salah satu pasal dan Pasang berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki  punna nipanraki boronga, nupanrakintu kalennu”. Artinya hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.
Apabila ada pelanggar ketentuan seperti mengganggu kelestarian hutan dan pelakunya diketahui, maka akan dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Untuk menjatuhkan vonis diadakan acara Aborong (bermusyawarah) yang dihadiri oleh anggota dewan adat. Acara A’borong dipimpin langsung oleh Ammatoa. Menurut ketentuan Pasang Ri Kajang, ada tiga tingkatan sanksi yang dikenakan kepada setiap pelanggar:
1)      Cappa’ ba’bala, artinya ujung cambuk, yaitu pelanggaran ringan. Cappa ba’bala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari hutan/ kebun rakyat masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa denda enam Real senilai Rp. 600.000,- ditambah satu gulung kain putih.
2)      Tangnga ba’bala, artinya pertengahan cambuk ; yaitu pelanggaran sedang. Tangnga ba’ba1a merupakan sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasaya atau hutan kemasyarakatan. Pengambilan kayu dan hasil apa saja dalam kawasan borong batasaya tanpa izin Ammatoa harus dihukum dengan aturan Tangnga ba’bala. Walaupun ada izin tetapi ternyata mengambil lebih dari yang diizinkan, maka orang tersebut dianggap melanggar aturan dan kepadanya akan dikenakan denda delapan Real atau senilai dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.
3)      Poko ba’bala, artinya pangkal cambuk; yaitu pelanggaran berat. Yang dikenakan sanksi poko’ ba’bala yaitu masyarakat yang mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu di dalam hutan adat (hutan keramat). Poko’ ba’bala merupakan denda/ hukuman paling tinggi dalam aturan menurut pasang. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas Real dan bila dirupiahkan senilai, dengan Rp. 1.200.000,- ditambah satu gulung kain putih. Kayu yang sudah diambil kemudian dikembalikan ke dalam hutan.

Membongkar Kedok Perusak Hutan
Apabila pelaku penebangan pohon di hutan tidak diketahui orangnya, hal ini menjadi masalah. Namun Ammatoa tidak kehilangan akal. Cara Ammatoa membongkar kedok perusak hutan cukup keras. Menurut Pasang bila hal ini terjadi diadakan upacara “ attunu panrolik” (membakar linggis). Attunu panrolik ialah membakar linggis sampai berwarna merah saking panasnya.
Sebelum upacara dilaksanakan di rumah Ammatoa dipukul gendang dengan irama tertentu. Semua warga yang mendengar bunyi gendang tahu bahwa ada upacara attunu panrolik. Mereka segera berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Linggispun dibakar sampai merah. Kepada setiap warga dipersilahkan memegang linggis yang sudah memerah karena panasnya, namun yang bukan pelaku penebangan kayu di hutan tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Ini  suatu hal yang aneh. tetapi bagi pelaku (kalau hadir dan memegang linggis) akan segera ketahuan sebab tangannya akan melepuh. Namun menurut pengalaman, pelaku penebangan tidak akan mau menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian pelakunya akan diketahui dan segera dicari orangnya.


Sanksi Adat Bagi Pelanggar Pasang (Perusak Hutan)
Uraian tentang materi Pasang yang telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa sasaran yang ingin dicapai ialah kelestarian lingkungan hutan.
Salah satu pasal dan Pasang berbunyi Anjo boronga anre nakkulle nipanraki  punna nipanraki boronga, nupanrakintu kalennu”. Artinya hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.
Apabila ada pelanggar ketentuan seperti mengganggu kelestarian hutan dan pelakunya diketahui, maka akan dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Untuk menjatuhkan vonis diadakan acara Aborong (bermusyawarah) yang dihadiri oleh anggota dewan adat. Acara A’borong dipimpin langsung oleh Ammatoa. Menurut ketentuan Pasang Ri Kajang, ada tiga tingkatan sanksi yang dikenakan kepada setiap pelanggar:
1)      Cappa’ ba’bala, artinya ujung cambuk, yaitu pelanggaran ringan. Cappa ba’bala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari hutan/ kebun rakyat masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa denda enam Real senilai Rp. 600.000,- ditambah satu gulung kain putih.
2)      Tangnga ba’bala, artinya pertengahan cambuk ; yaitu pelanggaran sedang. Tangnga ba’ba1a merupakan sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasaya atau hutan kemasyarakatan. Pengambilan kayu dan hasil apa saja dalam kawasan borong batasaya tanpa izin Ammatoa harus dihukum dengan aturan Tangnga ba’bala. Walaupun ada izin tetapi ternyata mengambil lebih dari yang diizinkan, maka orang tersebut dianggap melanggar aturan dan kepadanya akan dikenakan denda delapan Real atau senilai dengan Rp. 800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.
3)      Poko ba’bala, artinya pangkal cambuk; yaitu pelanggaran berat. Yang dikenakan sanksi poko’ ba’bala yaitu masyarakat yang mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu di dalam hutan adat (hutan keramat). Poko’ ba’bala merupakan denda/ hukuman paling tinggi dalam aturan menurut pasang. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa denda dua belas Real dan bila dirupiahkan senilai, dengan Rp. 1.200.000,- ditambah satu gulung kain putih. Kayu yang sudah diambil kemudian dikembalikan ke dalam hutan.

Membongkar Kedok Perusak Hutan
Apabila pelaku penebangan pohon di hutan tidak diketahui orangnya, hal ini menjadi masalah. Namun Ammatoa tidak kehilangan akal. Cara Ammatoa membongkar kedok perusak hutan cukup keras. Menurut Pasang bila hal ini terjadi diadakan upacara “ attunu panrolik” (membakar linggis). Attunu panrolik ialah membakar linggis sampai berwarna merah saking panasnya.
Sebelum upacara dilaksanakan di rumah Ammatoa dipukul gendang dengan irama tertentu. Semua warga yang mendengar bunyi gendang tahu bahwa ada upacara attunu panrolik. Mereka segera berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Linggispun dibakar sampai merah. Kepada setiap warga dipersilahkan memegang linggis yang sudah memerah karena panasnya, namun yang bukan pelaku penebangan kayu di hutan tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Ini  suatu hal yang aneh. tetapi bagi pelaku (kalau hadir dan memegang linggis) akan segera ketahuan sebab tangannya akan melepuh. Namun menurut pengalaman, pelaku penebangan tidak akan mau menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian pelakunya akan diketahui dan segera dicari orangnya. (Bersambung)

Hutan Ammatoa (Foto: Ammatoa.com)

0 komentar:

Posting Komentar