Minggu, 16 Oktober 2016

Palampang, Sebuah Indonesia Kecil

Pagi bangkit dari hati yang manis. Udara adalah sepenuhnya milik aroma 
buroncong, putu cangkir dan gogos.
Setelah regukan sempurna pada kopi panas

sawah ladang dan bebukit memiliki matahari dan para
lelaki. Kampung mulai menguning oleh jemuran padi
sepanjang jalan. Di hari lain disibukkan ritmis alu dan
lesung oleh tangan lembut perempuan.

Siang hari Indonesia kecil itu adalah juga sekolah alam: Liku Bajang, Hakke bahie, Ulu Paenre'. Anak-anak mencintai dan dicintai alam. Belajar berenang dan memanjat pohon. Bermain layang-layang. Mencari buah dao, rappo-rappo jawa atau sekedar cemilan pucuk daun jambu putih.
Di front terdepan kebun kelapa terjadi perang-perangan dengan bedil yang dirakit dari tangkai daun pisang. Di gundukan abu panas belakang pabrik beras terbenam lusinan singkong yang hampir matang.

Setiap senja tiba adalah pertanda gadis-gadis sedang meracik kemiri untuk dijadikan pelita. Lalu malam hari adalah giliran kunang-kunang berpendaran di lego-lego. Para ibu khusyuk mengaji. Bulan berlayar tenang di langit.
Tak ada yang lebih nikmat dari menyantap hasil tangkapan para pallenrong. Tak ada yang lebih riuh dari dolanan bocah-bocah di bawah purnama: tengko-tengko, laju'-laju', cukke-cukke, mangngasing, mappinceng, tumbuk-tumbuk belang, mariam to mariam!

Sebuah Indonesia kecil di Palampang. Masih punya hutan, oksigen murni dan sungai bening. Ketika entah berapa kapan yang silam.

Palampang, 5 Oktober 2016.



Ilustrasi (Foto: Koleksi Penulis)

0 komentar:

Posting Komentar