Minggu, 06 November 2016

Dr. Shamsi Ali; Penebar Islam Damai di Bumi Barat



                 Imam Besar Masjid Al Hikmah, New York, bukanlah pria yang berasal dari jazirah Arab melainkan dia adalah seorang lelaki Bugis-Konjo dari Kajang, Bulukumba, Sulsel. Dialah DR. Shamsi Ali yang lahir di desa terpencil, Kajang, 5 Oktober 1967.
                 Ia menjadi imam besar di pusat kebudayaan islam New York. Imam Ali sangat dikenal di komunitas Islam Amerika. Demi perdamaian kerukunan agama, Imam Ali tak ragu untuk ceramah di Gereja dan lembaga agama lainnya di New York.
                Kini, dia menjadi salah satu tokoh agama terkemuka di Amerika Serikat dan di Barat secara umum. Posisinya sebagai Imam Islami Center New York mengantar Shamsi menjadi rujukan di Negeri Paman Sam dan sekitarnya. Dia juga menjabat Direktur Jamaica Muslim Centre, salah satu masjid terbesar di kota New York.
                Dalam beberapa kesempatan setiap pulang kampung baik di Makassar maupun di Bulukumba, Shamsi kerap bercerita tentang pengalamannya berdiskusi soal agama dengan mantan Presiden AS George Bush dan Presiden AS Barrack Obama. Imam Shamsi, sebagaimana biasa dipanggil, adalah satu dari tujuh tokoh agama yang paling berpengaruh di kota dunia, New York.
                Dalam kapasitasnya sebagai tokoh Muslim yang didengar, Shamsi Ali memimiliki hubungan dekat dengan para petinggi kota, termasuk Michel Bloomberg, Walikota New York, yang billioner. Dia juga menjadi pelatih budaya Islam di kepolisian New York, pertama dalam sejarah kota New York. Bahkan Shamsi Ali adalah Muslim pertama yang tampil membacakan doa dalam salah satu acara pembukaan sidang DPRD kota New York beberapa waktu lalu.  
                Shamsi pernah menimba ilmu agama Islam di Pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam”, Gombara Makassar. Pemuda kelahiran Kajang, Bulukumba, itu adalah anak petani yang tumbuh laiknya anak kampung kebanyakan. Shamsi dilahirkan di kalangan petani.Kedua orangtuanya minus pendidikan memadai.
                "Saya lahir di Kajang. Ayah saya petani biasa.Bahasa Indonesia saja tidak bisa.Saya suka berkelahi waktu SD. Tangan saya pernah patah. Orangtua saya bingung dengan perilaku saya. Mau jadi apa saya kalau kelakuan seperti ini," katanya.
                Karena bingung dengan sikap kenakalan Shamsi, petani Kajang itu memutuskan “memenjarakan” anaknya di Pesantren Gombara, Makassar.
                Kebetulan kakaknya ketika itu  sedang menempuh pendidikan di Makassar. Dari informasi kakaknya itu, orangtua Shamsi memutuskan agar dia masuk di pesantren yang menurut istilah sebagian orang sebagai "penjara suci".
                Bakat berkelahi yang masih melekat pada Shamsi kini mendapat saluran yang positif.Ia kemudian mengikuti latihan pencak silat Tapak Suci. Bakat inilah yang membawanya menjadi juara 2 nasional pada kejuaraan pencak silat antar perguruan tinggi di bandung tahun 1995.  
                Berawal dari hobi "berkelahi" di Tapak Suci ini ia kelak mendapat gelar Doktor HC di Unisba. Setelah menyelesaikan studi di Pondok Pesantren Darum Arqam Gombara, Makassar, Shamsi Ali mengabdi di pesantren untuk mengajar beberapa bulan.
                Ia ingin sekali kuliah tetapi keadaan finansial keluarga tidak mendukung. "Bingung mau masuk universitas tidak ada duit. Akhirnya ngabdi di pesantren dengan seikhlasnya," kenang Shamsi.  
                Beberapa bulan kemudian, Shamsi ditawari pimpinan pondok pesantren belajar ke Pakistan. Ia pun melanjutkan studi di International Islamic University. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi muazzin (tukang adzan) di Masjid Faisal, masjid terbesar di Islamabad.
                Jenjang S1 dalam bidang Tafsir diselesaikan tahun 1992. Ia kemudian melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan jenjang S2 di universitas yang sama tamat tahun 1994, dengan memilih bidang Perbandingan Agama.
                Hingga akhirnya ada tawaran mengajar di Jeddah, Arab Saudi, yang langsung disetujuinya.Di Jeddah ini, Shamsi sering memberikan ceramah manasik haji di KJRI Jeddah.
                Pada saat ceramah manasik haji, Shamsi bertemu dengan Wakil Tetap RI untuk PBB New York, Nugroho Wisnumurti.Nugroho mengundang Shamsi untuk memimpin masjid Indonesia yang sekarang bernama Masjid Al Hikmah di New York, sembari menjadi staf Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI).
                Sebelumnya ia memang mempunyai keinginan melanjutkan pendidikan ke luar negeri yakni antara di Inggris atau Amerika. Sehingga pada saat ditawari ke Amerika ia pun setuju. "Pertama kali tiba di Amerika Serikat saya khawatir," tambahnya.
                Menurutnya, ia berada di sebuah negara yang bebas segala rupa. Hal ini berbeda saat masih di Jeddah yang serba tertutup.
                Namun kekhawatiran itu berubah saat bertemu dengan orang yang lebih beragam.Dia pun bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda. Bahkan ini pula yang mengantarkannya menjadi pionir dialog antar agama di kota New York, yang di kemudian hari mendapat pengakuan dari pemerintah AS.                
                Tetangga dari latar belakang agama yang berbeda mulai dari Protestan, Katolik, Sikh, dan Hindu menjadikannya membuka mata bahwa berbeda keyakinan tidak harus menjadikan manusia bermusuhan. Ia misalnya memiliki sepasang tetangga beragama Katolik, setiap pagi ia membersihkan taman depan rumah dan selalu menyapa Shamsi dan istrinya dengan ramah sambil mengatakan, "Hai good morning".  
                Mereka tahu kami Islam karena istri saya pakai jilbab tapi mereka sangat ramah. Dari beliau saya belejar bahwa meski boleh jadi ada yang berbeda secara fundamental, namun ada sisi positif dari semua orang sehingga bisa terbangun kerja sama antar orang yang beragam itu.


Black September

                Saat peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) 11 September, Shamsi mengaku sedang berada dalam kereta. "Orang menyangka ada kebakaran. Kita nonton TV, gedung kembar ditabrak," kenangnya.
                Namun menurut Shamsi, reaksi media saat itu, yang pertama kali ditayangkan CNN menampilkan orang Palestina yang bergembira dan berdansa.
                Pada saat itu ia mengetahui bahwa peristiwa itu sangat berat apalagi pada saat perjalanan di kereta tersebut ia banyak mendengar orang-orang mencaci-maki Islam. Tetangga yang sangat diakrabinya datang ke rumah Shamsi dan menangis lalu mengatakan bahwa ia tidak percaya bahwa Islam seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Hal itu karena ia menemui hal yang kontras dengan perilaku orang Islam sesungguhnya.
                Menurutnya, setelah penyerangan 11 September itu, suasana AS selama 1 sampai 2 pekan sangat mencekam.Bahkan beberapa pengurus Masjid Al Hikmah New York berencana menutup masjid.
                “Tapi saya katakan No Way. Kenapa harus ditutup?," katanya. Kalau ditutup itu sama saja membenarkan anggapan orang bahwa kita orang Islam mengakui kesalahan kolektif karena prilaku segelintir orang. Alhamdulilah, masjid-masjid kemudian tidak jadi ditutup.
                Beberapa saat setelah peristiwa ituia ditelepon untuk menghadiri sebuah konferensi pers Interfaith. Interfaith tidak lain adalah upaya membangun komunikasi untuk saling memahami sehingga terjadi kerjasama dalam kepentingan yang disepakati dan saling menghormati dalam hal-hal yang tidak disepakati. "Saya datang dengan biasa saja. Empat tahun di Amerika, bahasa Inggris saya masih belepotan. Saya serahkan semuanya kepada Allah," ujarnya.
                Shamsi menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia. Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua manusia.Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar hendaknya kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
                Tak lama setelah kejadian itu, Shamsi diundang menghadiri sebuah perhelatan akbar di kota New York yang disebut: A Prayer for America. Sebuah kehormatan besar bagi Shamsi Ali dan bagi umat Islam di seluruh dunia ketika Shamsi Ali diundang mewakili Islam Amerika dalam acara Doa untuk Amerika.
                Sebuah acara doa dan perenungan AS atas Tragedi Bom WTC dan Pentagon 11 September 2004 yang diikuti pemuka Protestan, Katolik, Sikh, Hindu, dan Islam lainnya di stadion terkenal olah raga baseball Yankee Stadium, The Bronx, New York, 23 September 2004.
                Ia satu panggung dengan mantan Presiden Amerika Serikat, senator Hillary Clinton, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, Gubernur New York Robert Pataki, Oprah Winfrey, sejumlah selibritis dunia pada acara yang dihadiri sekitar 50.000 orang di stadion yang lokasinya ttidak terlalu jauh dari reruntuhan gedung kembar 110 tingkat World Trade Center (WTC).
                Ketika itu, Shamsi Ali muncul di mimbar A Prayer for America di Stadion Yankee, New York City.Ia mengenakan pakaian sederhana tanpa sorban putih atau jenggot panjang.Ia hanya mengenakan baju koko dan juga peci Indonesia.Dia menyebut Bismillahirahmanirrahim dari bibirnya.Lalu, puluhan ribu publik AS mendengar syahdunya kalimat-kalimat Allah dibacakan Shamsi di luar kepala.
                Tidak ada suara, kecuali alunan merdu suara Syamsi.Dia juga mengingatkan semua yang hadir agar hendaknya kebencian kita terhadap suatu kaum tidak menjadikan kita tidak adil.
                Pada kesempatan itulah, Shamsi Ali berjabat tangan dan berpesan kepada pemerintah George Walker Bush. Pertama ia ucapkan belasungkawa kepada Bush dan orang Amerika dan mengutuk apapun bentuknya peristiwa itu.
                Shamsi berpesan kepada pemerintah George Walker Bush dan pengambil keputusan AS agar janganlah kiranya karena kebencian yang tertanam, bukan keadilan yang dijunjung, melainkan pembalasan dendam semata.
                "Pak Presiden, saya ingin menyampaikan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan kepercayaan dan komunitas saya. Jadi maukah Anda memberikan pernyataan pada publik bahwa serangan teroris itu tidak ada kaitannya dengan Islam/Muslim?". Itulah ucapan Shamsi Ali kepada Presiden AS saat itu, George Bush. Kata-kata itu mengalir dari bibir Shamsi Ali, dai asal Indonesia.
                Shamsi mengucapkan kalimat itu lantaran Islam disorot tajam. Padahal Shamsi yakin agama mana pun, termasuk Islam, tidak mengajarkan teror. Kepada rakyat Amerika, Bush menyampaikan pesan yang disampaikan Shamsi.
                Saat tampil di mimbar, ia diberi pilihan antara ceramah dan berdoa. Ia kemudian memilih membaca Al Quran untuk menyampaikan bahwa Islam itu agama yang universal, idza jaa-a Nassarullah.
                “Kutukan” orangtua Shamsi mumpuni. Ia kini menjadi sinar Islam di Amerika. "Terkadang kita pintar mengatur, tapi ternyata ada yang lebih berkuasa mengatur hidup hamba-hambaNya, Allah SWT. Serahkanlah ke yang Maha Mengatur. Jalani hidup lebih baik," kata Shamsi. (*)

0 komentar:

Posting Komentar