Jumat, 04 November 2016

Fahmi Syarief, Dari Dendam ke Teater


            Sorot matanya tajam namun di balik itu terdapat keramahan yang meruah. Suaranya tegas, kadang meledak-ledak. Seperti itu pula jiwanya dalam berkesenian. Ia pernah  diganjar Celebes Award untuk dedikasinya terhadap teater.

           Dialah manusia Bulukumba pertama yang menulis novel. Novel  itu berjudul “Bulukumba Membara” diterbitkan pada dua dasawarsa silam. Novel yang bercerita tentang sepak terjang perjuangan rakyat Bulukumba mempertahankan kemerdekaan dengan setting cerita tahun 1945-1946.
           Ada sebuah kenangan tersendiri ketika penulis pernah menjadi salah seorang mahasiswanya di Fakultas Sastra Unhas. Dalam sebuah materi kuliah yang belum tuntas, ia memutuskan untuk menghimbau kami para mahasiswanya agar datang menonton sebuah pagelaran teater yang saat itu akan disiarkan oleh TVRI Makassar.
            Hal itu untuk membuktikan ucapannya di kelas saat itu, ”Jika Iwan Fals sore ini datang di Karebosi, saya yakin kalian semua akan berbondong-bondong kesana tanpa disuruh. Tapi jika saya menyuruh kalian untuk datang menonton teater, saya tidak yakin separuh kelas akan hadir.”
            Dan benar saja, tidak lebih dari separuh kelas kami yang datang.
            Fahmi mengaku bahwa ia main teater pada awalnya karena “dendam”. Tahun 1964 kakak kelasnya di SMA Negeri 198 Bulukumba akan menyelenggarakan acara perpisahan. Salah satu acaranya adalah pementasan drama di bawah bimbingan Pak Emil Agus Kalalo, guru Civicsnya,yang sering menulis naskah dan sutradara di sekolahnya.
           Fahmi yang saat itu masih remaja selalu berdiri di pintu kelas tempat berlatih saban latihan sore hari. Bukan untuk menonton, melainkan menampakkan diri agar diajak juga main. Tapi sampai latihan terakhir, bahkan sampai pementasan selesai, dia tak pernah ditegur.  
           Dalam dirinya tumbuh “dendam”. Dia lalu menulis naskah sendiri, memanggil dan berlatih dengan teman-temannya yang juga mau tapi tidak pernah diajak oleh guru. Mereka latihan di berbagai tempat selama sebulan lebih tiap sore, dan akhirnya main di Gedung Wanita Bulukumba. Prinsipnya: bagus atau tidak, hak penonton. Judulnya Dendam dan Korban, kisah cinta segi tiga yang penuh simbahan  darah. Belakangan disadarinya, drama tersebut dipengaruhi oleh drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail yang pernah dia tonton  sebelumnya.
            Fahmi yang sudah jatuh cinta kepada teater akhirnya memutuskan masuk ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah) Bulukumba. Bermain sebagai Aswad (tokoh pembantu) dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy Nasution. Dalam acara perpisahan saat tamat SMA tahun 1966, main sebagai Amir (tokoh utama) dalam drama Mereka Mulai Menyerang karya Rahman Arge. Sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan M. Arman Yunus, selesai pementasan ketika itu berkata: “Kamu punya bakat main drama.”
             Setelah di Makassar diajak main oleh Saleh Mallombasi dalam drama Montserrat  (Emmanuel Robles) produksi Teater Makassar, pimpinan produksi Arsal Alhabsi, sutradara Rahman Arge. Latihannya 5 bulan termasuk training centre 1 bulan; general rehearsal 5 Agustus 1970, main 7 sampai 12 Agustus 1970 di Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69. Setelah pementasan, Fahmi mendapatkan honorarium Rp 8.000,-. Fahmi menceritakan sambil tertawa, saat itu ia langsung membeli celana saddle king (ketat, warna merah tua). Penyerahan honorarium dilakukan di Kebun Binatang. Dalam produksi ini, semua pemain laki-laki mendapatkan Surat Izin Gondrong dari Kapolda Sulselra.
             Fahmi banyak menulis naskah drama, di antaranya Dendam dan Korban (1964), Baja Putih (1972), Datu Museng & Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala’ (1976), Kerikil-Kerikil (1977), Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Almamater (1991), Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia Perbatasan (1995). Tiga di antaranya (Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka,  Para Karaeng) diterbitkan oleh Hasanuddin University Press (2005) dengan judul Trilogi Drama Teropong dan Meriam atas bantuan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
           Teater tidak dapat dipisahkan dari Fahmi. Tercatat ia mendirikan beberapa grup teater: Latamaosandi bersama Jacob Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilintin (1968), Yuvana Santika bersama Manan Ibrahim (1969), Poseidon Arts Group bersama Sandy Karim (alm.) dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977), Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), Teater Titik-Titik bersama A. Ansar Agus dan Salahuddin Alam (1995).
           Dalam dua kali festival teater se-Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Aktor Terbaik (1971) dan Aktor Pembantu Terbaik (1977). Kritiknya Sinetron IS: Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI (1991).
           Fahmi diganjar Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel (2002). Ketiganya dalam bidang penulisan, pemeranan, dan penyutradaraan teater.
          Putra dari Drs. Syariff Saleh dan Hamidah Daeng Puji ini dilahirkan 23 Mei 1947 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan SR dan Ibtidaiyah (1959), SMP (1963), SMA (1966 di Bulukumba. Menyelesaikan School of Acting DKM (1972), Sarjana Muda Sastra Barat Unhas (1970), Sarjana lengkap Sastra Indonesia Unhas (1994), dan Pascasarjana Unhas (2001) Di Makassar. Menjabat Ketua I Kompartemen Pendidikan dan Pelatihan Dewan Kesenian Makasar, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unhas sejak 1985 dan Fakultas  Ilmu Komunikasi Universitas Fajar sejak tahun 2004.
         Rambutnya yang kini memutih ternyata tidak pernah menghalangi semangatnya dalam berkesenian. Ia tetap konsisten bermain teater sampai tua. (*)

0 komentar:

Posting Komentar